Malam itu, Diah Bisono (47) dan teman-temannya dari Female Trackers for Lupus menanti kedatangan Widjajono. Mereka memang mendaki sehari lebih dulu. Tunggu punya tunggu Widjajono tak juga tiba. "Baru esok malamnya setelah turun dari Tambora, saya dengar kabar duka itu karena di atas tidak ada sinyal," kisah Diah. Jelas, katanya, ia amat terkejut dan merasa sangat kehilangan.
Pendakian itu, tuturnya, dalam rangka menyambut Hari Kartini. "Saya dan 15 orang lain mengambil jalur Pancasila, sementara Pak Wid memakai jalur Doropeti." Widjajano bergabung dengan Perempuan Pendiri Lupus sejak 2007, setahun setelah PPL berdiri. Bersama PPL, ia kerap mendaki gunung bersama. "Pak Wid bilang, kesamaan umur dengan anggota yang lain jadi alasannya gabung ke PPL. Kalau sama-sama berusia 40 tahun, laju perjalanan jadi enak, tidak ada yang cepat atau pelan. Tapi kalau sekadar naik gunung tanpa misi apa pun, kok, kurang bagus. Maka kami memilih Lupus yang kala itu masih belum banyak dibicarakan orang," lanjut Diah yang juga bekerja sebagau Account Manager di PT Saji Indonesia.
Pendakian terakhir itu, diakui Diah cukup menantang. Selain bentuk kawah yang patah sehingga tak bisa diputari, hujan yang mengguyur pun mengakibatkan perjalanan ditempuh dalam waktu lama. Ia menduga, penyebab kematian Widjajono malam itu karena kesulitan mendapatkan oksigen. "Di saat napasnya pendek, daya serap ke otak tipis, apalagi kalau sudah berumur. Penyerapan oksigennya jadi kurang. Itu memang konsekuensi pendaki gunung."
Banyak kenangan yang dimilikinya bersama Widjajano. "Saya pertama kali naik gunung bersama Pak Wid ke Kilimanjaro. Sebelumnya kami sudah bilang ke Pak Wid, ini adalah kelompok perempuan. Katanya, 'Tidak apa-apa, saya tidak akan merepotkan.' Ternyata benar, saya lihat Pak Wid begitu nyaman dengan alam dan kesendiriannya."
Satu hal yang amat berkesan bagi Diah, "Pak Wid itu tidak pernah ngoyo untuk mencapai puncak. Dia selalu berujar, 'Di mana saya berhenti terakhir, itulah puncak saya.'"
Sukrisna, Noverita