Sang Maestro Jazz dalam Kenangan (2)

By nova.id, Jumat, 24 Februari 2012 | 23:54 WIB
Sang Maestro Jazz dalam Kenangan 2 (nova.id)

Sang Maestro Jazz dalam Kenangan 2 (nova.id)

"Dewa Budjana menaburkan karangan bunga di atas peti sang maestro Bubi Chen sebagai penghormatan terakhirnya. (Foto: Amir Tejo/Dok NOVA) "

Sangat Filosofis

Duka mendalam pun dirasakan Benny Chen. Meski bukan anak kandung, namun di setiap kesempatan Bubi kerap mengenalkan Benny sebagai anak sulungnya. "Sebenarnya itu hanya candaan. Tapi lama-lama menjadi kebiasaan. Mungkin karena cintanya dia pada saya. Sebaliknya, saya juga mencintai beliau," terang Benny.

Perkenalan Benny dengan Bubi terjadi sekitar tahun 1992, saat Benny masih berusia 18 tahun. Ketika itu, Benny yang sudah menjadi yatim piatu diperkenalkan kepada Bubi oleh Tri Wijayanto, gitaris Bubi di bandnya, The Circle. Bubi lalu menanyakan minat Benny. "Saya jawab, saya minat pada jazz karena sejak umur 13 tahun sudah mulai main musik jazz. Om Bubi tertarik, lalu mengundang saya ke rumahnya," kenang Benny.

Sejak itu, hubungan mereka kian akrab, tak ubahnya ayah dan anak. Tak jarang Bubi mengajak Benny ke luar kota, hanya berdua saja. Karenanya ia punya sejumlah pengalaman yang tak bisa dilupakannya.

Salah satu di antaranya saat mereka menuju Jakarta dari Semarang. Di perjalanan, Bubi bermain tebak lagu dengan Benny. Bubi memutar CD dan Benny diminta menebak siapa pemusiknya. "Hasilnya, 90 persen tebakan saya salah. Itu menggelikan sekali," kenang Benny.

Di mata Benny, Bubi adalah sosok jenius dalam hal bermusik. Terkadang murid-muridnya tak paham apa yang diinginkan Bubi. Benny menganalogikan cara mengajar Bubi seolah menjerumuskan muridnya. Di saat muridnya sudah terjerumus, Bubi datang menolong. "Om Bubi sangat filosofis dalam bermusik. Tapi kadang para muridnya tak terbiasa menghadapi style Bubi," ujar Benny.

Menurut Benny, di akhir hayatnya Bubi masih memiliki harapan, musik jazz lebih bisa berkembang di Indonesia, terutama di Surabaya. Perkembangan musik jazz di Surabaya saat ini memang sudah mulai menggeliat. Misalnya saja, dari munculnya komunitas penikmat jazz, berdirinya cafe-cafe yang menyajikan musik jazz, adanya konser jazz secara rutin, dan lainnya.

"Namun Om Bubi lebih berharap, konsistensi dari para pemain jazznya sendiri. Karena berbeda dengan aliran musik lainnya, bermain jazz itu harus dengan cinta. Pemain jazz tak bisa hanya menjadikannya profesi saja," pungkas Benny.

Sosok Jenius & Gila Kerja

Bubi Chen yang lahir di Surabaya, 9 Februari 1938 adalah seorang pemusik jazz Indonesia yang talentanya diakui dunia. Saat berusia 5 tahun oleh ayahnya, Tan Khing Hoo, Bubi diserahkan kepada Di Lucia, seorang pianis berkebangsaan Italia, untuk belajar piano. Saat itu Bubi belum bisa membaca apalagi memahami not balok.

Meski begitu, Bubi bisa mengikuti pelajaran yang disampaikan Di Lucia karena Bubi sudah terbiasa melihat kakak-kakaknya, Jopie Chen dan Teddy Chen, saat sedang berlatih piano. Bubi belajar pada Di Lucia hingga tahun kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, Bubi mengikuti kursus piano klasik kepada pianis berkebangsaan Swiss, Yosef Bodmer.

Suatu ketika Bubi tertangkap basah oleh Yosef Bodmer saat sedang memainkan sebuah aransemen jazz. Bukannya marah, Yosef Bodmer justru berucap, "Saya tahu jazz adalah duniamu yang sebenarnya. Oleh karena itu, perdalamlah musik itu". Di umur 12 tahun, Bubi sudah mampu mengaransemen karya-karya Beethoven, Chopin, dan Mozart ke dalam irama jazz. Bubi menilai musik jazz memiliki kebebasan dalam menuangkan kreativitas dibandingkan musik klasik dengan kaidah-kaidahnya sendiri.

Beberapa waktu kemudian Bubi mulai mempelajari jazz secara otodidak. Ia juga mengikuti kursus tertulis pada Wesco School of Music, New York, tahun 1955-1957. Salah seorang gurunya adalah Teddy Wilson, murid dari tokoh swing legendaris Benny Goodman

Dan Bubi meninggal di usia 74 tahun di RS Telogorejo, Semarang, Kamis (16/12) lalu. Bubi meninggal akibat sakit diabetes yang sudah lama dideritanya, bahkan sejak ia masih berusia muda. "Bapak sebenarnya sudah menderita diabetes sejak usia 30-an. Tapi dia tak pernah menghiraukan sakitnya," terang Howie.

Kondisi kesehatan Bubi semakin menurun sekitar 3-4 tahun belakangan ini. Puncaknya, sekitar tahun 2010 kaki kiri Bubi sampai harus diamputasi. Selang setahun kemudian, giliran kaki kanannya yang harus diamputasi akibat diabetesnya. Pada saat kedua kakinya telah diamputasi, menurut Howie, Bubi tak terlalu menyesalinya. Karena sang ayah pernah berujar, "Masih untung kaki yang diamputasi, bukan tangan. Jadi saya masih bisa main musik."

"Bapak orangnya memang Jawa banget. Makanya, meski kedua kakinya sudah diamputasi, masih bisa bilang untung," seloroh Howie. Benar saja, kendati sudah kehilangan kedua kakinya, tak menyurutkan semangat Bubi untuk tetap bermain musik. Bahkan, ia sempat tampil di Jazz Traffic Festival Surabaya, November lalu. "Meski sudah tak punya kaki, Bapak tak pernah menyembunyikannya. Saya juga senang karena jadi banyak orang tahu kondisi sebenarnya, " ujar Howie.

Sebagai anak, tentu saja Howie mengkhawatirkan kondisi sang ayah yang kian memburuk. Misalnya, dengan menganjurkan ayahnya untuk berhenti bermusik. Namun tanpa diduga, Bubi malah berujar, "Bunuh saja saya kalau disuruh berhenti main musik. Buat apa saya hidup?" "Meski sakit, Bapak senang kalau punya mobilitas tinggi. Sosok Bubi Chen memang sosok yang gila kerja," ucap Howie lagi.

Kesan serupa juga diungkapkan Dewa Budjana, gitaris band GIGI. Dalam pandangannya, Bubi adalah sosok yang penuh semangat. Budjana mengaku terakhir bertemu Bubi sekitar tahun 2010 di Semarang, pasca kaki kiri Bubi diamputasi. Saat menjenguk Bubi, Budjana sempat mengobrol panjang dengan Bubi. Ia bahkan merekam semua obrolannya dengan Bubi. Dalam obrolan itu Bubi mengeluh bahwa ia tak suka dibilang sakit.

"Misalnya ada temannya bilang, 'Ah Om Bubi sudah sakit, nih. Sudah tak bisa main lagi.' Dia sangat tersinggung," kisah Budjana saat memberikan penghormatan terakhir di Krematorium Eka Praya.

Amir Tejo