Kisah Sukses Ikan Bakar Tarjo, Hidup Sulit di Waktu Kecil (1)

By nova.id, Rabu, 19 Oktober 2011 | 23:18 WIB
Kisah Sukses Ikan Bakar Tarjo Hidup Sulit di Waktu Kecil 1 (nova.id)

Kisah Sukses Ikan Bakar Tarjo Hidup Sulit di Waktu Kecil 1 (nova.id)

"Rumah makan milikku yang sederhana ini hanya punya satu menu khas, yaitu ikan bakar (Foto: Moonstar Simanjuntak) "

Belasan tahun lalu Tarjo merintis bisnis rumah makan ikan bakar. Kini, rumah makannya yang sederhana termasuk salah satu yang terkenal di Jakarta dan sekitarnya. Simak perjuangannya yang berliku, sampai akhirnya ia menjadi pengusaha sukses yang tetap rendah hati.

Bila suatu saat melewati jalan arteri di pinggir rel di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, arah ke Jalan Palmerah, Anda akan melalui sebuah rumah makan sederhana yang selalu dipenuhi kepulan asap tebal di bagian depannya, meruapkan aroma ikan bakar kepada siapa saja yang melintasinya. Itulah rumah makan ikan bakar "Tarjo" milikku. Biasanya, pada jam makan, terutama saat para karyawan kantor istirahat siang, mereka memenuhi rumah makanku.

Itu sebabnya, pemandangan mobil berderet biasa terjadi di setiap siang. Aku hanya bisa mengucapkan alhamdulillah melihat rumah makanku laris manis. Apalagi jika mengingat masa lalu, tak pernah terbayang dalam benakku akan memiliki kehidupan seperti sekarang. Ya, perjalananku sungguh berliku sebelum akhirnya menemukan jalan yang tepat untuk sukses.

Aku yang lahir pada 16 November 1968, dibesarkan di tengah keluarga tak berpunya. Aku ingat, semasa kelas 4 SD, sekadar untuk bisa menulis di buku saja susah sekali. Aku hanya punya satu buku. Semua yang tertulis di bukuku itu harus kuhafal lebih dulu sebelum akhirnya kuhapus agar bisa ditulisi lagi. Pergi-pulang ke sekolah yang jaraknya sekitar 1 km kutempuh dengan berjalan tanpa alas kaki.

Memiliki tujuh anak membuat Sarju, ayahku, yang hanya menjadi petani miskin di Pacitan, Jawa Timur dan Toinem, ibuku, yang tak bekerja, terasa berat menghidupi keluarga. Tiwul adalah makanan kami sehari-hari, itu pun sudah termasuk makanan mahal bagi kami. Bila sedang tak punya uang, kami terpaksa makan isi batang pohon aren. Dalam hati, aku menangis melihat kemiskinan keluargaku.

Jangan tanya soal cita-cita, karena aku tak punya. Asalkan bisa makan, itu sudah cukup bagi kami. Sejak itulah aku bertekad untuk tidak tergantung pada orangtua. Rupanya Tuhan mendengar doaku. Suatu hari, ada yang mencari orang yang mau memikul kayu dengan bayaran Rp 100 per meter. Segera kuterima pekerjaan itu, meski harus memikul kayu sejauh 5 km. Hasilnya kukumpulkan dan setelah jumlahnya cukup, kubelikan baju dan buku tulis.

Keluar Masuk Sekolah

Lantaran pekerjaan ini tak selalu ada, aku menerima tawaran seseorang untuk merawat sapi dan kerbau miliknya. Sayang, untuk pekerjaan ini aku tak dibayar sepeser pun, meski aku bekerja beberapa tahun lamanya. Hanya jatah makan saja yang kudapat. Lulus SD sekitar usia 12 tahun, aku merantau ke luar kecamatan. Sambil bersekolah di SMP, aku kembali merawat kerbau dan sapi milik orang lain.

Lagi-lagi, aku tak dibayar sepeser pun, tapi diperbolehkan tinggal dan makan di sana. Sesekali, aku juga menjadi nelayan. Uang dari hasil mencari ikan inilah yang kukumpulkan untuk biaya sekolah. Namun, uang untuk sekolah tak selalu ada. Alhasil pendidikanku semasa SMP bolong-bolong. Tahun ini bisa sekolah, tahun depan keluar. Begitu terus sampai akhirnya aku bisa lulus.

Untung, pihak sekolah mau memahami kondisi siswa sepertiku, meski sempat beberapa kali memberikan teguran. Bila sedang keluar dari sekolah, aku mengumpulkan uang dengan menjadi nelayan. Setelah uang cukup terkumpul, tahun berikutnya masuk sekolah lagi. Pernah juga mencoba kerja di pabrik rokok di luar kabupaten, tapi gagal.

Meski tiap hari menempuh perjalanan lebih dari 30 km berjalan tanpa alas kaki untuk pergi-pulang sekolah, aku mau masuk sekolah lagi setelah setahun absen karena ingin bisa seperti orang lain yang pandai berhitung dan menulis. Jadi, meski hujan turun sederas apa pun, aku tetap berangkat sekolah. Sebagian uang dan hasil laut tangkapanku kuserahkan pada Ibu tiap pulang ke rumah seminggu sekali.

Aku ingat, Ibu sangat bangga menerimanya. Anaknya yang sebelumnya paling susah diatur, terutama paling susah disuruh sekolah ini, akhirnya bisa mandiri. Oh ya, uang yang kukumpulkan saat itu juga kubelikan bibit pohon untuk ditanam di kebun orangtuaku, antara lain kelapa dan cengkih. Kelak setelah sukses, aku membeli kebun milik orangtuaku itu.