Berkali-kali Tarjo berganti pekerjaan. Nasib malang pun datang silih berganti, saat usahanya sempat mengalami kemajuan. Rupanya, bisnis ikan bakar yang dirintisnya dengan modal Rp 20 ribu itu kemudian membuahkan kesuksesan baginya.
Setelah menikah, pekerjaanku masih juga belum jelas. Namun, aku tak mau putus asa. Pekerjaan seremeh apa pun kukerjakan demi mendapatkan uang. Misalnya diminta membeli gas atau mencuci mobil. Lantaran penghasilan tak menentu seperti ini, makan juga seadanya. Ceker ayam yang kubeli di pasar sudah termasuk makan enak bagi keluarga kami.
Meski hidup serba sulit, kupaksakan untuk menabung, sampai akhirnya aku punya uang Rp 25 ribu. Kebetulan, orang yang tinggal di sebelah kontrakanku berniat menjual gerobak sayurnya. Gerobak itu kubeli dan mulailah aku berdagang sayur. Ketika uangku terkumpul Rp 75 ribu, seorang teman mengiming-imingiku menjadi satpam sebuah rumah. Tahun 1991, aku yang tergiur tawaran itu mencoba melamar. Syukurlah diterima.
Nasib apes rupanya senang berteman denganku, selama dua bulan bekerja sebagai satpam, aku tak juga mendapatkan gaji. Setiap kali menagih ke majikan aku malah dimarahi, meski akhirnya gajiku dibayar juga. Akhirnya kutinggalkan pekerjaan itu. Aku lalu pindah kontrakan di daerah Kampung Rawa di kawasan Permata Hijau. Aku lalu membuka warung rokok di depan lapangan tenis di perumahan elit itu.
Kayu sisa proyek bangunan di samping lapangan kumanfaatkan untuk mendirikan warung. Modal uang Rp 25 ribu yang kudapat dari gaji kubelikan rokok untuk dijual di warung yang ditunggui istriku. Alhamdulillah, hasilnya lumayan. Aku lalu punya ide untuk kembali berdagang sayur. Pagi hari aku berdagang sayur, siangnya aku berjualan air mineral di perempatan lampu merah Permata Hijau.
Malam harinya, aku berjualan mi instan rebus di warung. Ya, waktu dan keuntungan yang ada benar-benar kumanfaatkan untuk berjualan. Bahkan, kala musim hujan tiba aku menambah barang dagangan, yaitu menjajakan baju bekas keluar masuk kampung. Kardus-kardus pun kukumpulkan untuk kujual lagi. Saat itu, Tina Malinda, anak pertamaku, sudah menginjak SD.
Usaha Porak Poranda
Enam tahun lamanya aku berjualan air mineral. Berjibaku di tengah jalan seperti ini membuat penampilanku tak karuan. Apalagi saat itu kehidupanku masih sulit. Seperti halnya semasa di Riau, bajuku saat itu juga penuh tambalan. Namun aku tak peduli. Pengalaman paling pahit kuterima saat ditolak sebuah rumah sakit ketika membawa istriku yang akan melahirkan anak kedua, Ahmad Ridho, pada 1995, karena penampilanku lusuh.
Petugas rumah sakit akhirnya mau menerima istriku setelah kukeluarkan uang Rp 4,5 juta dari kantung bajuku untuk membayar biaya kelahiran. Ha ha ha... Mungkin aku dikira gelandangan, ya. Padahal, saat itu usahaku tengah maju pesat. Alhamdulillah, berjualan air mineral ternyata bisa memberikan hasil lumayan. Buktinya, tahun 1996 aku bisa membeli sepeda motor, yang sampai sekarang masih kumiliki.
Namun, kebahagiaan yang kurasakan karena majunya usahaku ini ternyata tak lama. Kerusuhan yang melanda Jakarta pada 1997 diikuti krisis moneter memporakporandakan semua usaha yang kubangun. Uang tabungan dan modalku semakin menipis karena terus kupakai untuk biaya hidup sehari-hari. Sampai akhirnya, tinggal Rp 20 ribu uang yang tersisa di saku baju. Dalam keadaan bingung dan letih menghadapi cobaan hidup yang bertubi-tubi, aku melamun sambil berbaring di bawah pohon mengkudu.
KOMENTAR