"Aku jarang punya foto dokumentasi. Foto kehadiranku di acara khitanan anak temanku ini merupakan salah satu koleksi foto yang kupunya (Foto: Dok Pri) "
Sayang, lagi-lagi nasib baik enggan berpihak padaku. Meski sudah lama di Jakarta, aku tak kunjung mendapat pekerjaan. Suatu hari, ketika sedang menongkrong di warung rokok, aku ditawari pekerjaan sebagai petugas cleaning service di sebuah mess karyawan. Ini pekerjaan baru bagiku, jadi aku sering diomeli karena masih belepotan dalam membersihkan rumah.
Entah mengapa, aku merasa tak betah bekerja sehingga berkali-kali minta pindah tempat kerja. Bahkan, ketika bekerja di rumah seorang mantan walikota di kawasan Jakarta Utara yang sebetulnya sangat baik, aku juga memilih keluar. Sebab, majikanku ini menawariku jadi polisi. Bukannya sombong, tapi aku tak mau terlalu dimanjakan seperti itu. Rasanya kok, enak banget, mendapat pekerjaan tanpa usaha.
Pernah pula aku jadi buruh serabutan, antara lain menjadi penggali sumur dan pemotong rumput. Tanpa malu aku mengetuk pintu demi pintu rumah orang untuk menawarkan jasa. Tahun 1988 pekerjaanku lumayan menghasilkan, sehingga bisa menabung meski sedikit. Apalagi, aku juga menumpang di rumah kakakku di daerah Kreo. Di sanalah aku bertemu jodohku, Triayati. Kami menikah tahun 1990.
Setelah menikah, hidupku masih saja pahit. Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana. Jika tak punya uang, kami berutang beras setengah liter untuk makan. Tak lama, istriku hamil dan melahirkan anak pertama kami. Bila anak sakit, terpaksa berutang dulu pada bidan yang rumahnya tak jauh dari kontrakan kami. Setelah punya uang, barulah utang-utang itu dilunasi.
Hasuna Daylailatu / bersambung