GKR. Bendara, Soal Jamu Sampai Panti Asuhan

By nova.id, Selasa, 18 Oktober 2011 | 06:36 WIB
GKR (nova.id)

GKR (nova.id)

"Foto: Siswanto/Dok NOVA "

Bagi GKR. Bendara, Keraton Ngayogyakarta adalah ujung tombak budaya Jawa, sehingga semua yang serba tradisional harus tetap dilestarikan. Itu sebabnya ia bersedia melakukan semua ritual dan aturan tradisi di sepanjang prosesi pernikahannyai. "Ini sudah tradisi, tidak bisa diubah tata cara dan adatnya. Siapa lagi yang akan nguri-uri kalau bukan kita?" tegasnya.

Contoh paling kecil ketaatannya menjalankan tradisi adalah meminum aneka jamu yang disediakan abdinya di Ketaron Kilen. Di antaranya jamu kunyit asam dan beras kencur buatan abdinya. "Minumnya berganti-ganti biar tak bosan," terang putri raja yang juga rajin luluran ini.

Omong-omong, usai menikah, apakah akan meneruskan bisnis sandal yang dirintisnya selama ini? "Iya, pasti diteruskan. Tapi sejak Agustus sedang libur dulu. Latar belakang pendidikan saya, kan, priwisata, tapi ide saya mengalir terus untuk menekuni dunia fashion. Mulai dari membuat pakaian, bros, tas, sandal, dan sepatu. Ya, rezekinya disitu."

Pasca menikah, Jeng Reni rencananya tetap akan samina wa ato'na (ikut kata suami sepanjang benar). Memosisikan diri sebagai istri, meski gelar dan derajatnya sebagai keluarga keraton lebih tinggi dibanding suaminya. "Saya tetap menyapa Ubai dengan sebutan Ai, kependekan dari kata sayang. Dan Ubai menyapa saya, Ayang. Enggak mungkin, kan, saya manggil dia pangeran, lalu dia memanggil saya putri. Wah, jadi putri salju, dong, ha ha ha..."

Satu hal menjadi janjinya ialah mengunjungi kembali anak-anak panti asuhan Amanah, yang pada 25 September lalu sempat ia kunjungi. "Iya, saya akan menepati janji mengajak suami ke sana. Saya sudah bicarakan hal ini dengan Ubai. Mungkin besok, kalau panti asuhan punya kegiatan di Minggu Legi," harapnya.

Bila sering berkunjung ke berbagai panti asuhan dan cinta anak-anak, apakah tak ingin memiliki panti asuhan sendiri? "Insya Allah. Nanti lah, kita tunggu saja."

Rini