"Lily Tak Sempat Melihat Tiga Bidadari Kami" (1)

By nova.id, Senin, 5 September 2011 | 04:18 WIB
Lily Tak Sempat Melihat Tiga Bidadari Kami 1 (nova.id)

Lily Tak Sempat Melihat Tiga Bidadari Kami 1 (nova.id)
Lily Tak Sempat Melihat Tiga Bidadari Kami 1 (nova.id)

"Foto: Dok Pri "

Suka Hanson, Bukan Mozart

Ketika dokter menyatakan jenis kelamin anak-anak kami nantinya perempuan, Lily sangat antusias. Semua keperluan bayi yang dibeli, dipilih warna merah muda. Kebetulan dia juga penyuka warna itu. Bahkan sampai sikat giginya berwarna merah muda.

Jika malam menjelang, kami kerap mengajak mereka ngobrol sambil mengelus-elus perut Lily. Betapa takjubnya kami setiap kali merasakan janin dalam perut Lily bergerak. Sungguh sebuah perasaan yang tak bisa dibeli. Kami juga sempat memperdengarkan karya musik Mozart agar perkembangan janin lebih baik.

Lucunya, setiap kali diperdengarkan Mozart, tiga bayi ini seakan enggan. Aku ingat sekali ketika itu Lily berkata, "Dedeknya enggak suka musik Mozart, tapi Hanson." Ya, memang sejak remaja Lily memang menyukai band yang terkenal dengan lagu 'Mmmbop' ini. Bahkan dia terbilang aktif dalam perkumpulan penyuka musik Hanson di Indonesia.

Semua keceriaan itu berubah ketika Jumat (5/8) itu Lily meng­aku sesak napas. Katanya, itu sudah dirasakannya sejak beberapa hari belakangan dan semakin berat. Keesokan harinya, sesak napas yang dirasakan Lily semakin parah hingga dia menangis. Aku langsung membawanya ke RS. Tak disangka, dokter yang memeriksa Lily langsung menyarankan Lily dirawat. Bahkan, dokter menyarankan kami untuk segera menjalani operasi Caesar pada Senin (8/8) atau Selasa (9/8).

Alasan dokter ketika itu, Lily men­derita gejala pre-eklampsia karena tensi darahnya juga terbilang tinggi, hingga 160. Pre-eklampsia adalah tekanan darah yang tinggi dan kelebihan kadar protein dalam urin. Biasanya terjadi selama kehamilan atau segera setelah persalinan.

Saran dokter tadi kami tolak dengan alasan keuangan. Lily merasa usia kandungannya baru mencapai 29 minggu. Lily ingin bayinya lahir paling tidak seminggu lagi agar kuat dan matang. Kami takut jika terlalu cepat, ketiga bayi lahir prematur dan harus masuk inkubator. Perawatan bayi di ruangan itu, kan, makan biaya tak sedikit. Terlebih kami mengetahui ada seorang bayi yang saat itu sedang dirawat dalam inkubator selama hampir sebulan dan sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 70 juta. Bagaimana dengan kami yang memiliki anak kembar tiga?

Meski begitu, kami sepakat untuk rawat inap. Pertimbangannya, dibanding harus merawat inap Lily dan tiga bayi, bukankah lebih baik merawat inap Lily saja. Apalagi ketika itu Lily mengatakan kondisinya sudah mulai membaik.

Edwin Yusman F / bersambung