Kisah Sukses Hamzah Sulaiman (2)

By nova.id, Kamis, 4 Agustus 2011 | 03:15 WIB
Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)

Yang makan waktu lama adalah bagaimana mengisi dan mengembalikan detail toko. Konsepnya ingin membangun tempat wisata belanja batik dan kerajinan yang representatif, selain tentu saja menyediakan fasilitas yang nyaman bagi pengunjung. Tempat pertunjukkan yang sudah lama saya idamkan berada di lantai 3. Memang Mirota kali ini lebih bagus dan lengkap. Pembeli pun sudah bisa menikmati kembali Mirota. Hanya saja nama Mirota Batik kini ditambahkan nama saya sendiri, Hamzah Batik.

Akan tetapi, ketahanan orang ada batasnya, termasuk saya. Setelah Mirota maju dan kuat, saya menyatakan mundur dan menyerahkan pengelolaan ke Mbak Murti, Manajer Mirota. Dialah orang kepercayaan saya. Mbak Murti adalah karyawan terlama dan sangat menonjol dalam hal kepemimpinan. Selain cerdas, ia memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Jika ada karyawan punya salah, ia akan tegas memberi sanksi. Sementara saya, banyak kasihannya ke karyawan. Tak ada kekhawatiran Mbak Murti akan mengkhianati kepercayaan saya. Jika ada masalah, ia akan curhat ke saya. Sebaliknya, bila saya punya masalah, curhat ke dia.

Mirota Batik bagai membangun keluarga dengan penuh cinta kasih. Seperti menyebar benih pelayanan dengan kemesraan dan memungut panen hasil penjualan dengan kegirangan. Dan hanya kerja dengan rasa cintalah, yang dapat mengubah suara angin menjadi alunan gending yang agung.

Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)

"Aku tak menyangka House of Raminten banyak didatangi para pengunjung (Foto: Daniel Supriyono) "

House of Raminten

Oh ya, bicara soal pasangan, terus terang saya pernah menikah pada tahun 1977, selama dua tahun. Berhubung ada masalah, kami bercerai. Orangtua saya tak mempermasalahkan, daripada salah satu dari kami menderita. Kini, mantan istri saya sudah menikah lagi. Sementara saya memilih hidup sendiri.

Saya juga punya anak angkat yang saat ini saya percayakan mengelola House of Raminten. Karyawannya rata-rata berasal dari keluarga tak mampu, lalu disekolahkan sampai menikah dan punya bisnis sendiri meski kecil-kecilan.

Gaji pokok karyawan saya kecil, tapi nanti mereka mendapat deviden yang nilainya besar. Siapa yang bekerja paling lama akan memiliki banyak saham, sebaliknya karyawan baru sahamnya lebih dikit. Biasanya para karyawan mengalami 6 bulan percobaan, setelah lulus baru mendapat saham. Hitungannya jika toko ramai pasti sahamnya besar, bila sepi pasti sedikit. Makanya kalau karyawan ingin sahamnya besar, harus bekerja giat dan keras.

Karyawan saya banyak yang bertahan lama bekerja, bahkan semuanya sudah punya rumah. Yang tak punya disediakan perusahaan dan yang punya rumah disediakan uang perbaikan rumah. Keuntungan dari bisnis pun bukan buat saya semua, tapi dibagikan ke karyawan.

House of Raminten ini saya buat karena setelah memutuskan mengundurkan diri mengelola bisnis, saya merasa kesepian di rumah yang besar ini. Rasanya, kok, pengin punya kegiatan. Akhirnya saya mencoba buka House of Raminten yang awalnya berupa pendopo, tempat saya latihan menari. Karena belum pernah punya restoran, tadinya saya cuma jual mi, eh ternyata laku.

Tak ada konsep khusus yang saya terapkan di House of Raminten. Tetapi, saya juga tak pernah menduga jika restoran ini bakal seramai ini. Ramintan ini sebenarnya nama peran yang pernah saya bawakan. Dulu, saya pernah mengisi acar di program Pengkolan yang tayang setiap hari Minggu jam 17.00 di TVRI. Sosok saya ketika itu sebagai wanita bernama Raminten. Acaranya seperti dagelan dan jadi tontonan favorit. Saya juga tak perlu menghapal apa-apa, pokoknya full improvisasi, pakai kebaya dan sanggulan.

Nah, dari yang awalnya hanya pengin punya kegiatan, kini justri pegawai Raminten sudah mencapai 84 orang dan bukanya 24 jam. Ciri khasnya adalah nasi kucing. Di tempat ini juga saya tempelkan beberapa kalimat-kalimat lucu seperti 'Kami anak SLB, jadi maaf kalau lama meladeni'. Ha ha ha...

Memang, sih, awalnya karyawan saya lama meladeni pembeli terutama dalam menyediakan makanan. Mereka, kan, bukan tukang masak, semuanya dari nol sampai akhirnya berkembang. Tak ada yang ahli masak atau koki. Kalau "membajak" koki yang sudah jago, kan, bayarnya pasti mahal. Untungnya ada Mas Bagus, ahli memijat tapi pintar masak. Dialah yang mengajarkan pegawai di sini sampai bisa masak. Apalagi masakan Mas Bagus enak.