Kisah Sukses Hamzah Sulaiman (2)

By nova.id, Kamis, 4 Agustus 2011 | 03:15 WIB
Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)

Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)
Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)
Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)
Kisah Sukses Hamzah Sulaiman 2 (nova.id)

"Hubungan saya dengan pegawai seperti ayah dengan anak. Saya lebih banyaj memberi contoh baik kepada mereka (Foto: Daniel Supriyono) "

Baju Kebesaran

Hari-hari setelah mengundurkan diri saya isi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari olahraga bersepeda mengitari rumah. Banyak masyarakat yang mengenal saya, tapi banyak yang tak saya kenal, tapi saya sapa mereka dengan ramah.

Saya berpikir, betapa merananya bila sepanjang hidup harus terus bekerja. Kini, hidup saya untuk ketoprak, kursus tari kuno tiap Selasa, hari Jumat kursus nembang, atau memberikan kursus ke ibu-ibu tanpa dipungut bayaran. Hal-hal yang berhubungan dengan Mirota sudah tak saya urus lagi, kecuali ada hal mendesak. Sebenarnya untuk tanda tangan ke bank saja, saya sudah malas. Tapi, kan, masih nama saya yang dipakai. Ha ha ha...

Pengontrolan memang kadang masih saya lakukan ke Mirota. Bila saya datang, selalu memakai baju kebesaran, hitam dan batik. Sudah dua tahun saya memakai atasan hitam dengan bawahan kain atau jarik. Saya senang batik dan itulah ciri khas saya. Meski ada juga yang heran melihatnya, tapi ini hak saya, terserah orang mau bilang apa.

Bisa dihitung jari kapan saya pakai celana kain, itu pun hanya satu warna, hitam. Dipakainya pun pas acara tertentu saja, ada pesta atau ke kantor pajak. Saya termasuk orang yang dapat penghargaan dari kantor pajak, lho, karena membayar pajak pribadi dengan tertib.

Kini, saya tinggal menikmati hasil jerih payah saja. Kapan istirahatnya bila terus mengurus bisnis? Memang kerja mau beli apa, sih, samudera barangkali? Ha ha ha... Mending saya dengar musik dan menari saja.

Sebenarnya banyak yang tak suka melihat bisnis saya, tapi tak saya hiraukan. Ada yang bilang Hamzah sudah kaya, kurang apa, sih, kok, bikin House of Raminten. Begitu juga saat manggung di Mirota, penonton, kan, harus bayar Rp 10 ribu. Padahal uang itu buat dibagikan ke pemain. Kalau saya main, ya, saya juga dapat uang.

Tapi ada saja komentar miring, kurang apa, sih, Hamzah, kok, masih manggung? Ya terserah saya, wong panggung saya tak mengganggu mereka, kenapa harus dipermasalahkan? Sama halnya saat saya jadi Raminten, ada yang komentar, kok, tak malu jadi wanita. Padahal, bagi saya manggung dan ditonton orang itu ada kepuasan sendiri yang sulit dijelaskan.

 (TAMAT)

 Noverita K. Waldan