Pria separuh baya dengan kaos putih dan celana pendek, duduk di sebuah kamar di rumah sakit yang serba putih. Wajahnya kuyu dan gerakan tubuhnya sangat lambat. Untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti makan dan ke kamar mandi, ia mesti dibantu. Karena itulah, di dalam kamarnya, seorang pembantu wanita selalu siap menemani. Meski begitu, ia terlihat santai.
Di kamar itulah kini Edward menghabiskan hari-harinya. "Di sini enak, saya bisa lebih leluasa ketimbang saat berada di penjara." Ya, tiga pekan lalu Edward lagi-lagi diringkus polisi di tempat praktiknya, Jl. Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Tuduhannya, melakukan praktik aborsi ilegal. Ini kali keempat Edward kembali masuk bui gara-gara urusan menggugurkan janin.
Hanya menginap beberapa hari di bui, Edward harus dilarikan ke RS karena kesehatannya menurun akibat fisiknya melemah. Maklum, tahun lalu ia baru dioperasi kanker leher dan dampaknya suaranya menjadi sengau dan patah-patah. Kendati demikian, ia berusaha menjawab semua pertanyaan dengan baik, meski terkadang wawancara harus terhenti karena Edward tak kuat bicara berlama-lama.
Apa kabar, Dok?
Baik. Ya, begini lah.
Sebenarnya apa, sih, motivasi utama bersedia melakukan praktik ini? Kan, sudah jelas melanggar hukum dan etika kedokteran?
Pertama, memang ini ladang mencari nafkah saya karena inilah kemampuan yang saya bisa. Kedua, apa yang saya lakukan ini semata-mata memang bertujuan menolong.
Maksudnya?
Mereka yang datang itu, kan, rata-rata karena kehamilan yang tidak dikehendaki. Nah, daripada anak itu lahir kelak menyusahkan orang tuanya, kan, lebih baik digugurkan saja. Saya punya prinsip, kalau mau mengugurkan, usia kandungan harus dibawah 120 hari.
Ada alasan khusus untuk itu?
Ya, menurut keyakinan agama saya, roh baru ditiupkan ke janin setelah janin memasuki usia ke-120 hari. Jadi, sebelum 120 hari, memang ada kehidupan, tapi tidak ada rohnya. Nah, bagi saya, tidak ada masalah meski saya gugurkan karena itu demi kebaikan. Kalau ada yang hamil di atas 120 hari, pasti saya tolak.