Pengakuan Dokter "Spesialis" Aborsi (1)

By nova.id, Senin, 21 Februari 2011 | 17:07 WIB
Pengakuan Dokter Spesialis Aborsi 1 (nova.id)

Oh, ya?

Ya! Salah satu contohnya, kasus aborsi yang dilakukan bidan di Sidoarjo yang ibu bayinya sampai meninggal dunia beberapa waktu lalu. Awalnya dia sudah ke saya, tapi karena saya lihat hamilnya sudah di atas empat bulan, ya, saya tolak. Ternyata setelah saya tolak, dia diam-diam pindah mengugurkan ke bidan di Sidoarjo dengan perantara calo dari tempat saya. Kasus itu yang membuat saya akhirnya terseret seperti ini.

(Terbongkarnya praktik aborsi ilegal Edward berawal dari pengembangan kasus pencabulan 21 ABG dengan tersangka Li (41) alias St di Surabaya beberapa saat sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan, di antara 21 korban, ada gadis bernama LI (14) hamil 5 bulan, kemudian dibawa ke tempat praktek Edward, namun ditolak.)

Anda tadi menyebut mau membantu demi kebaikan. Ke­baikan yang bagaimana persisnya?

Coba bayangkan, ada sepasang suami-istri yang keadaan ekonominya tidak mampu tapi kemudian dia kebobolan dan hamil lagi. Daripada anak yang dikandung itu kelak menjadi beban kedua orang tuannya, kan, lebih baik digugurkan sejak awal?

Demikian pula kalau ada seorang remaja atau pelajar yang karena pergaulan bebas lalu sampai hamil, daripada kelak bayi itu lahir tapi menghalangi cita-cita ibu si bayi untuk melangkah ke depan, apa salahnya kalau digugurkan saja sejak awal?

Dan perlu dicatat, meski saya menerima pasien aborsi, saya tidak semata-mata mencari uang. Banyak di antara yang datang, saya gratiskan karena memang mereka orang tidak mampu.

Contohnya?

Banyak ibu-ibu korban lumpur Lapindo datang bersama suaminya nangis-nangis karena hamil dan tidak punya uang untuk merawat bayinya kelak. Coba bayangkan kalau dia sampai hamil lalu melahirkan dan hidup di penampungan yang kondisinya memprihatinkan seperti itu? Apa tidak semakin sengsara hidup orang tua maupun bayinya? Mereka ini saya bantu saya gugurkan dan saya gratiskan. Demikian pula jika yang datang wanita pekerja seks, saya tidak memungut biaya sama sekali.

Tapi, kan, perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh undang-undang?

Saya dari dulu sudah tahu bah­wa apa yang saya lakukan melanggar hukum negara. Apalagi, karena praktik ilegal ini, izin praktik saya sudah lama dicabut. Saya juga sudah berulang kali ditangkap polisi, tapi tetap saja saya lakukan karena yakin, apa yang saya lakukan adalah untuk nolong bukan nyolong. Jadi, saya tak peduli dengan aturan yang ada. Saya hanya berpedoman pada prinsip hidup saya.

Kalau memang mau meno­long, kok, mematok harga? Bahkan, menurut pengakuan beberapa pasien, ada yang dimintai uang di atas Rp 3 juta, bahkan ada yang sampai Rp 5 juta?