Bencana besar, hari Minggu lalu, kata Jumadi adalah kali ke-4. Banjir pertama dan kedua, rumahnya belum tersentuh lumpur. "Tapi banjir ketiga, pasir mulai masuk rumah. Siangnya kami langsung bersih-bersih rumah. Bahkan malamnya sebagian warga masih ada yang tinggal di rumah karena cuaca cerah. Eh.... malam berikutnya, bencana itu datang lagi."
Ketika bencana datang, semua warga Jumoyo berada di pengungsian, perasaannya was-was. Mereka semua terdiam mendengarkan suara gemuruh yang berasal dari Sungai Putih yang membelah desanya. "Suara itu makin lama makin kencang dan diselingi gemludug hingga menggetarkan kaca jendela balai desa, tempat pengusian yang jaraknya hampir 1 kilo. lIstrik juga mati. Semua sudah pasrah. Banjir kali ini sangat besar. Seumur-umur baru kali ini terjadi," tambahnya.
Dua jam kemudian, suara itu menghilang. Dengan menggunakan obor Jumadi dan beberapa warga melihat kondisi rumahnya. Sayangnya, mereka tertahan di Jalan Yogja - Magelang lantaran air masih tinggi. Jumadi pun memilih pulang ke pengungsian. Barulah keesokan harinya ia kembali menengok rumahnya. Betapa paniknya Jumadi ketika mendapati rumahnya sudah tak kelihatan. "Saya nekat menerjang air, tapi banyak warga mencegah. Akhirnya, saya dinaikkan bolduzer agar bisa melihat kondisi rumah saya."
Tiba di lokasi rumah, Jumadi lemas. "Tulang serasa dilolosi. Habis rumahnya tak ada lagi. Yang tersisa ada Cuma hamparan pasir dan bongkahan batu sebesar sofa. Rasanya saya tak percaya, rumah itu hilang begitu saja," sambat Jumadi.