Seberapa besar bahaya material vulkanik yang dilontarkan Merapi bagi kesehatan? Menurut dr. Mukhtar Ihsan, Sp.S (K), MARS, tentu harus dilihat dulu kandungan yang ada di dalam material vulkanik itu. Letusan gunung berapi menimbulkan polusi karena kandungan gas-gas berbahaya di dalamnya, misalnya karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan sebagainya. Selain gas, letusan juga membawa partikel padat berukuran besar, seperti batu atau kerikil, sampai debu-debu halus yang biasanya mengandung silika.
"Paru-paru kita, kan, sangat rentan karena selalu menghirup udara dari luar yang belum tentu bersih. Jadi kuncinya, buatlah udara di depan hidung kita bebas dari segala polusi," papar spesialis paru dari RSUP Persahabatan, Jakarta
Jika yang terhirup gas beracun dalam konsentrasi tinggi dan lama, tentu bisa berakibat fatal, sama halnya dengan bahaya akibat awan panas. "Debu yang agak besar memang bisa menempel di bulu hidung. Tapi, debu-debu halus bisa masuk sampai paru-paru dan menimbulkan gangguan pernapasan seperti sesak napas, batuk, hingga infeksi pernapasan akut (ISPA), terutama bagi balita, anak-anak, dan orang berusia lanjut," lanjut Mukhtar.
Belum lagi, lanjutnya, daya tahan para pengungsi kebanyakan buruk karena mereka lelah, kurang tidur, stres, dan kurang asupan makanan bergizi. "Akibatnya, lebih rentan terkena infeksi," lanjut Mukhtar.
Penderita asma juga sebaiknya lebih waspada karena debu vulkanik bisa lebih mudah mencetuskan serangan asma. Sementara bagi ibu hamil, yang lebih berbahaya adalah kandungan gas beracunnya, karena akan terbawa darah dan mengganggu janin dalam kandungan.
Untuk mengurangi dampak material vulkanik, khususnya gangguan pada pernapasan, yang paling penting adalah menjauhi sumber polutan. Tindakan pencegahan lain, gunakan masker untuk menyaring partikel-partikel halus.
Selain mengganggu saluran pernapasan, material vulkanik juga bisa menimbulkan gangguan pada mata. Menurut spesialis mata, dr. Yudisianil E.K., Sp.M, harus dilihat dulu kandungan material vulkaniknya. Salah satu kandungan yang terdapat dalam material vulkanik yang disemburkan Merapi adalah silika.
Itu pun tergantung jumlah dan konsentrasinya. Namun, ada 2 hal yang bisa terjadi. "Jika konsentrasinya cukup tinggi, akan terjdi trauma mekanik. Terjadi erosi atau semacam luka. Yang ditakutkan, jika luka itu mengenai kornea mata, yang punya struktur tak terlalu kuat dibandingkan bagian tubuh lain. Kornea mata juga merupakan media refraksi paling luar yang paling mudah terekspos benda-benda dari luar. Contohnya, terkena debu saja reaksinya sudah hebat."
Bahaya erosi kornea mata, selain luka yang menimbulkan rasa sakit luar biasa karena banyaknya saraf sensorik di sana, juga bisa mengganggu fungsi penglihatan, bahkan kebutaan. "Kornea mata merupakan media refraksi yang paling mudah terganggu fungsi penglihatannya. Maka, penting menjaga kornea mata, misalnya menutup mata rapat-rapat. Sehingga , kornea masih bisa terlindungi oleh kelopak mata yang lebih kuat."
Yang kedua, terjadi reaksi kimia. Misalnya, jika paparan silika berlanjut terus, bisa terjadi "pelelehan" kornea mata. "Sama seperti jika terkena asam basa. Tapi harus diketahui juga, sifat silikanya seperti apa. Jika pH-nya asam atau netral, mungkin tak terlalu bahaya. Tapi kalau basa, sistem pelelehannya bisa lebih cepat, karena pada bola mata terdapat air yang lalu tercampur debu silika tadi. Ini juga tentu mengancam penglihatan," jelas Yudi.
Jadi, begitu kornea mata terpapar material vulkanik, "Harus segera dilakukan irigasi (mencuci mata secara cepat) dengan air mengalir atau cairan yang pH-nya netral (cairan fisiologis)," saran Yudisianil. Langkah berikutnya, memberikan salep mata antibiotik untuk menghindari infeksi. "Jangan dikucek, karena bisa-bisa traumanya jadi lebih dalam."
Kacamata renang (google) yang rapat tanpa ada celah sama sekali juga dapat digunakan untuk menghindari debu vulkanik memasuki mata. "Jika tak ada kacamata, pejamkan mata kuat-kuat. Tapi tentu harus melihat situasi. Kalau pas evakuasi, bisa nabrak-nabrak. Boleh saja mata agak terbuka, tapi jalan sambil merunduk."
ROSALIA SANG PASIEN PERTAMA
Siapa sebenarnya pasien pertama yang jadi korban erupsi Merapi dan yang langsung dilarikan ke UGD RS Dr. Sardjito? Ternyata seorang bayi berumur 7 bulan bernama Rosalia. Memang, bayi mungil itu bukan korban langsung awan panas, melainkan karena hujan abu dan kerikil yang bercampur belerang.
Menurut cerita sang nenek, Suprihartanti, Kamis siang itu Perumahan Saka Permai, Sleman, kediamannya digempur hujan abu lalu disusul hujan batu. "Tapi yang bikin kami panik, hujan batunya disertai bau belerang yang sangat menyengat," cerita Suprih. Hanya sekejap kemudian, ia melihat cucu pertamanya tiba-tiba tersengal-sengal napasnya. "Mulanya saya masih tenang, tapi lama-lama, kok, napasnya makin susah. Segera Suprih langsung melarikan sang cucu ke RS Dr. Sardjito. "Dia jadi pasien pertama korban Merapi yang masuk UGD."
Suprih lalu berkisah, bau belerang itu sampai masuk ke kamarnya. Apalagi, ketika ia keluar rumah menuju mobil. "Wah, baunya sampai menusuk hidung. Saya saja sampai kliyengan (pusing, Red.). Napas Rosalia juga makin tersengal-sengal." Tiba di luar rumah, ia disambut hujan batu. "Batunya sebesar jari kelingking. Untung enggak kena kepala."
Di UGD, Rosalia langsung mendapat bantuan oksigen selama beberapa jam. Usai itu, si mungil bisa tidur tenang. Suprih pun sempat diberi oksigen hingga merasa segar kembali. Sekitar jam 06.00 pagi, dokter sudah memperbolehkan Rosalia dibawa pulang. "Tapi saya belum tahu apakah Rosalia akan diungsikan atau tidak. Kami akan pulang dulu saja. Nanti diputuskan setelah sampai di rumah."
Hasto, Krisna