JOKO SELAMAT TAPI...
Cerita pilu antara lain dikisahkan Joko Supriyanto (20). Kamis menjelang tengah malam itu, warga Desa Wonokerso ini, tengah bersiap mengungsi ke posko pengungsian di SD Banaran. Saat tengah mengambil sepeda motor untuk menjemput kakek dan neneknya, Suroto (65) dan Painah (65), di Desa Wonolelo, radius 18 Km dari puncak Merapi, tiba-tiba ia mendengar suara peringatan untuk segera mengungsi.
Secepatnya Joko meluncur ke rumah sang kakek. Kira-kira 20 meter dari pintu rumah kakek-neneknya, Joko melihat kepulan abu dan asap yang amat pekat dalam jarak amat dekat. "Kira-kira dari jarak 10 meter, saya lihat di dalam asap ada warna merah seperti api. Saya langsung melempar motor dan lari menyelamatkan diri, sembunyi di selokan dekat sawah sedalam dua meter. Saya meringkuk saja di sana. Punggung rasanya panas. Air di selokan hanya ada sedikit. Sempat saya berpikir, pasti tidak akan selamat. Saya sudah pasrah," papar Joko.
Sekitar lima menit kemudian, Joko memutuskan keluar dari selokan. Ia pun mendapati jok sepeda motornya hangus terbakar. Dalam perjalanan menuju kawasan yang ia kira lebih aman, Joko bertemu sepasang suami-istri bersama dua anaknya meminta tolong. "Saya bantu mencarikan mereka jalan yang aman sampai tiba di barak pengungsian," tambah Joko.
Masih cerita Joko, pukul 01.00 dini hari, paman Joko, Budi Purwanto (30) mencoba menjemput Painah dan Suroto yang rumahnya berjarak 25 meter dari Kali Gendol. "Abu sudah setengah betis dan masih panas. Paman Budi harus menyiramkan air supaya bisa masuk. Aduh Gusti, rumah sudah hancur, pohon tumbang, kambing ternak di kandang juga terbakar," tuturnya.
Joko betul-betul pasrah. Ia sudah membayangkan neneknya telah tersapu awan panas saat membuka pintu untuk mencari pertolongan. Ya, memang benar, Painah tak selamat. Sementara Suroto yang sudah terkena stroke dan tengah berada di dapur, "hanya" mengalami luka bakar di kaki. "Oleh paman, jenazah Mbah Putri dipindahkan ke kamar dan ditutup jarik (kain, Red.), lalu Mbah Kakung dititipkan di rumah tetangga. Paman saya pulang mengambil mobil lalu menjemput Mbah Kakung."
Kepergian Painah juga ditangisi Siti (30). "Mbah Painah itu mertua adik saya. Tadinya adik saya dan keluarganya tinggal di rumah itu. Untung mereka sudah mengungsi ke rumah saya di Gamping. Bu Painah waktu itu belum mau mengungsi. Rabu (3/11) sore, Bu Painah bilang ke adik ipar saya 'Ra usah kerjo wae, Le! Ngko nek aku mati piye? Keadaane wes koyo ngene? (Tidak usah kerja saja, Nak, nanti kalau aku mati bagaimana? Keadaannya sudah seperti ini)'. Tapi adik saya tetap kerja. Andai adik saya dan anaknya belum mengungsi, saya enggak tahu bagaimana jadinya," cerita Siti.
Kondisi di Dukuh Jaranan, Cangkringan, memang tak seberapa dibanding yang lain. Dusun yang paling parah diterjang awan panas kali ini adalah Brongga, Argomulyo, Cangkringan. Menurut seorang relawan, Wawan, yang berhasil mengevakuasi enam korban dan membawanya ke RS Dr. Sardjito, dukuh di tepi sungai Gendol itu hangus terbakar api.
"Saat kami datang, api memang belum seberapa. Makanya kami bisa bawa enam korban," cerita Wawan. Saat mengangkut para korban, "Saya masih mendengar jeritan beberapa orang minta tolong tapi mobil hanya cukup membawa enam orang saja." Begitu datang mobil lain, kondisi Dukuh Brongga sudah ludas terbakar api. Yang terdengar hanya suara kayu yang terbakar api. "Saya memilih evakuasi di lokasi lain karena api sudah tak mungkin diterjang."
Bahwa Dusun Brongga akan hangus dan ludes, sebenarnya sudah dirasakan salah seorang warganya, Farid. Kamis sore (4/11), dari tempat kosnya di Seturan, Yogyakarta, ia melihat kilat menyambar puncak Merapi. "Hati saya sudah enggak enak. Jangan-jangan malam Jumat bakal terjadi apa-apa," kisah mahasiswa salah satu universitas swasta ini.
KOMENTAR