Curahan Hati Istri Istri Yuniawan Nugroho (1)

By nova.id, Kamis, 4 November 2010 | 17:01 WIB
Curahan Hati Istri Istri Yuniawan Nugroho 1 (nova.id)

Curahan Hati Istri Istri Yuniawan Nugroho 1 (nova.id)
Curahan Hati Istri Istri Yuniawan Nugroho 1 (nova.id)

"Jenazah Wawan saat disemayamkan dirumah duka, di Ambarawa (Foto: Ahmad Tarmizi) "

Histeris

Ternyata si sulung benar. Tangis saya betul-betul pecah setelah melihat jasad Mas Wawan dengan mata kepala sendiri. Wajahnya memang tak jelas karena sudah tertutup debu dan mengelupas. Tapi menilik sepatunya, memang benar milik Mas Wawan. Sepertinya Mas Wawan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan yang mengenaskan. Posisi kedua tangan di atas kepala seperti menghalau atau menahan sesuatu. Kondisi tangannya semakin parah lantaran ia tak pakai jaket.

Anak bungsu kami juga sempat histeris ketika jasad bapaknya dibawa ke rumah. Anak-anak memang amat kehilangan ayahnya. Mas Wawan memang sayang pada kedua buah hati kami. Mas Wawan tak pernah memarahi Krisnayanti dan Ardyanti. Mas Wawan justru akan selalu memperingati jika saya mulai memarahi atau bersikap keras terhadap anak-anak.

Sudah pasti anak-anak amat kehilangan Mas Wawan. Ia satu-satunya pria buat kami. Sebelum pindah ke Ambarawa, kami selalu tinggal bersama di Jakarta dan Cibinong, tempat tinggal kami dulu. Saya pun tak berani membayangkan, bagaimana nantinya hari-hari saya ke depan tanpa Mas Wawan. Lebih dari separuh hidup saya, dihabiskan bersamanya.

Perayaan Hut Bareng

Kami menikah di usia cukup muda, saat sama-sama berusia 22 tahun. Setelah sembilan tahun pacaran, akhirnya kami menikah 30 November 1990. Kami berpacaran sejak duduk di kelas 2 SMA di Surabaya. Selulus SMA, kami kuliah di Yogya. Mas Wawan lulus dari UGM, saya lanjut sekolah ke Amerika Serikat. Sepulang saya dari luar negeri, kami menikah.

Satu lagi yang unik dari kami, tanggal lahir kami nyaris bersamaan. Mas Wawan lahir 1 Juni 1968, sedangkan saya 2 Juni 1968. Kami kerap merayakan ulang tahun bersama. Menyenangkan sekali mengingat kenangan manis itu. Tahun depan saya akan merayakan hari jadi tanpa dia.

Hal yang saya kagumi dari Mas Wawan adalah sifatnya yang amat perhatian. Saya masih ingat, ia tak mau menghadiri acara kantor jika keluarga tak diajak. Saya dan anak-anak pun memahami tugasnya sebagai wartawan. Kami sudah terbiasa jika ia hanya tinggal sebentar di rumah, lalu pergi lagi.

Mas Wawan juga pernah amat sibuk ketika menjadi wartawan istana di masa jabatan pertama Presiden SBY. Sebentar-sebentar ia pergi ke luar kota atau luar negeri. Kendati begitu, ia tak pernah melupakan tugasnya sebagai seorang ayah. Mas Wawan bahkan sudah mengarahkan anak sulung kami menjadi wartawan internasional. Mas Wawan ingin sekali menyaksikan anak-anaknya sukses. Sayang, ia tak bisa lagi menyaksikan anak-anaknya diwisuda dan meraih sukses.

Sungguh, tak pernah terbayang saya akan benar-benar kehilangan dia. Kini saya jadi ingat, Mas Wawan memang pernah bercerita, ia bermimpi bertemu orangtuanya yang telah tiada. Di mimpi itu, Mas Wawan naik mobil baru bersama orangtuanya. Mereka pergi untuk membeli nasi pecal yang diinginkan ibunya. Itulah yang kini terjadi, Mas Wawan sudah tenang berada bersama ayah-ibunya.

Mas Wawan sudah beristirahat dengan tenang. Ia dimakamkan tak jauh dari rumah kami di Ambarawa agar kami merasa tetap dekat dengannya. Mas Wawan memang akan selalu dekat dengan kami...

 Ahmad Tarmizi / bersambung