Kata orang, punya restoran itu enak. Memang enak, tapi jerih payahnya sama banyaknya dengan usaha yang dikeluarkan. Seminggu setelah buka kios, kami kelelahan hingga terpaksa kiosnya tutup. Aku, istri dan lainnya benar-benar dalam kondisi kewalahan. Mungkin karena kaget baru pertama kali buka, jadi semua terkapar.
Yang tak aku duga, reaksi pembeli luar biasa, banyak yang menelepon dan protes kenapa Oenpao tutup. Mereka sudah datang jauh-jauh, pagi-pagi pula, kenapa tutup? Sejak itulah kami enggak pernah tutup lagi hingga saat ini.
Penghasilan yang kami dapat waktu itu sekitar Rp 300 ribu per hari. Dalam waktu tiga bulan, aku membuka satu kios lagi dan menambah menu makanan Nasi Hainan, bebek dan ayam panggang. Lalu, bulan Juli buka satu kios lagi dengan menu tambahan berupa mi.
Sebenarnya, pertama kali membuka bisnis ini banyak yang menyepelekan aku. Kok, jauh-jauh kuliah di Jerman, hanya bekerja seperti ini. Tapi, aku enggak terlalu memikirkan itu karena aku senang melakukannya. Bukan masalah uangnya, tapi melihat orang datang, makan, lalu kenyang dan puas dengan makanan kami, itulah yang sangat aku sukai.
Melihat sukses Oenpao, pikiran kami mulai terstruktur. Yang tadinya hanya buat senang-senang, menjadi sesuatu yang lebih serius. Harus dilanjutkan dengan pengembangan lebih baik atau makanan apa yang ditambah, dan banyak lagi. Yang kami pikirkan adalah berusaha tidak ada masak-masak di Oenpao, tidak ada koki, pokoknya semua harus simpel.
Aku juga bekerjasama dengan para investor untuk mengembangkan Oenpao, meski pengelolaannya tetap ditangani sendiri. Artinya, tetap ada manajemen yang mengelola. Pada akhirnya memang memerlukan orang lain karena tak bisa dikerjakan sendiri lagi. Ibaratnya seperti punya bayi, harus diperhatikan hari demi hari dan telaten, baik dari sisi pelayanan maupun distribusi. Oenpao perlu orang yang ahli, bukan aku saja, tapi juga orang lain.
Modal awal yang aku keluarkan sekitar Rp 20 juta untuk sewa kios, beli panci, dan furnitur. Jika dulu harga bakpao masih Rp 6.800 isi tiga, sekarang Rp 12 ribu isi tiga. Bubur seharga Rp 3.500 sekarang menjadi Rp 12 ribu. Siapa yang membuat resep di Oenpao? Tentu saja resepnya tidak asli bikin sendiri karena makanan yang kami jual sudah ada ribuan tahun. Tapi pengembangan menu memang kami buat sendiri, terutama oleh istriku.
Di Oenpao tidak ada koki. Kokinya adalah istriku sendiri. Dialah yang menyiapkan bumbunya sampai bisa diaplikasikan di restoran. Setiap karyawan diajari sedemikian rupa sampai bisa menyajikan makanannya. Ibaratnya kalau orang mau makan nasi goreng Oenpao, tinggal beli bumbu di Oenpao, terus diolah di rumah.
Jadi, racikan bumbu dan pengembangannya dilaksanakan, dibuat, dan diaplikasikan istriku sendiri. Tentu saja dibantu karyawan lain saat pengolahannya saja.
Noverita K. Waldan
(Minggu depan: Dian menceritakan bagaimana ia bersama sang istri membangun Oenpao. Bukan berarti tanpa kendala. Tak lupa, Dian juga membagi tips untuk mereka yang ingin berbisnis dan mengungkapkan cita-citanya untuk memiliki 9 ribu restoran. Luar biasa!)