Saat Surya menjenguk, pemuda yang lahir 10 September 1982 ini hanya bisa tergeletak di Ruang Isolasi Kemuning RSUD Pare, Kabupaten Kediri. Pandangan matanya mengarah pada tangannya yang penuh sisik. Ia kerap merintih merasa kepanasan di sekujur tubuhnya. Mulai kepala sampai ujung kaki, dipenuhi sisik.
Tidak hanya kulit telapak kaki yang terus mengelupas dan mengeras. Tapi kulit kepala juga mengelupas dan bersisik keras. "Penyakit sekarang aneh-aneh. Dulu kalau panas atau gatal cukup di-pupuri kunir sudah sembuh. Anak saya ini sudah berkali-kali di bawa ke mantri kesehatan," ucap Sami, 60, ibu kandung Agus, Sabtu (6/3).
Sisik tumbuh dan mengeras kemudian lepas dengan sendirinya. Namun sesaat kemudian, sisik baru muncul lagi. "Rasanya gatal dan panas. Apalagi kalau dibuat bergerak, sekujur tubuh terasa panas," kata Agus.
Agus dibesarkan di tengah keluarga petani lereng Gunung Wilis. Bapak ibunya, Marni, 65, dan Sami, 60, harus membesarkan tiga anak lainnya. Kedua orangtua ini tak pernah mengenyam pendidikan. Agus pun hanya tamatan SMP.
Sejak kecil, Agus rajin membantu orangtuanya di sawah. Tidak hanya membantu mencarikan pakan ternak, tapi juga mencangkul. Setelah besar, dia berusaha mencari uang di Kota Kediri. Karena hanya tamat SMP, ia pasrah hanya menjadi kuli bangunan. Dengan upah Rp 30.000 sehari, dia berusaha terus mengumpulkannya.
Namun sekitar lima bulan lalu, Agus mengeluh tubuhnya adem panas. Dia memutuskan istirahat di kampungnya. Agus lalu mengonsumsi obat yang dijual bebas di warung kampungnya. Biasanya, warga lereng Wilis tak terlalu cermat dengan kemungkinan kedaluwarsanya obat.