Deyantoro, Sukses di Taiwan Berkat Bisnis Serba "Indonesia"

By nova.id, Jumat, 23 Oktober 2015 | 09:31 WIB
Deyantoro (Foto: Edwin Yusman F) (nova.id)

Saya pilih membuat majalah, karena remittance yang lebih menjanjikan dari segi profit. Padahal awalnya, saya benci dengan yang namanya usaha di bidang jurnalistik. Waktu kuliah S2 di Taipei, seorang teman menyampaikan pepatah yang mengatakan, ”Bila kamu ingin mencelakai sahabatmu, suruhlah dia membuat usaha atau bekerja di bidang media massa.” Karena bekerja di bidang jurnalistik, relatif tak mengenal waktu dan sangat melelahkan.

Saya pun waktu itu menyetujui pepatah itu. Tapi di lain sisi, ada sobat saya bernama Samsul T yang selalu menyarankan saya untuk menggeluti usaha di bidang jurnalistik. Entah kenapa, dia merasa saya sangat cocok di dunia jurnalistik. Herannya, meski saya cuek, sobat saya itu tak henti-hentinya memberi nasihat dan anjuran agar saya masuk dunia jurnalistik.

Terus apa yang akhirnya membuat Anda menekuni dunia jurnalistik?

Suatu ketika, datang seorang pemuda Taiwan ke toko saya. Kami mengobrol sampai merembet ke masalah belum adanya media massa dari dan untuk orang Indonesia di Taiwan. Padahal sudah ada media massa Vietnam, Filipina, dan Thailand. Pemuda itu bilang, “Tentu saja tak ada media massa Indonesia di Taiwan, karena otak masyarakat Indonesia di Taiwan ini bodoh semua. Jadi tidak mungkin ada media massa Indonesia di sini.” Wah, pernyataan itu sangat menyakitkan saya.

Tapi, saat itu saya hanya bisa tersenyum kecut dan membenarkan jawabannya. Karena ucapan itu, saya jadi termotivasi menerbitkan majalah. Saya namakan Majalah Indonesia Taiwan yang disingkat menjadi INTAI. INTAI adalah media massa berbahasa Indonesia pertama di Taiwan sejak oktober 2006.

Dari media, kemudian Anda menulis buku?

Bukan. Saya justru menerbitkan novel pertama yang berjudul Aku Terjebak di Taipei City pada Agustus 2006. Jadi buku dulu, baru majalah INTAI. Latar belakang munculnya buku itu karena saya mau memberikan sumbangsih pada dunia sastra Indonesia dengan tema alternatif. Yakni kisah berlatar nasionalisme dari sudut pandang seorang Indonesia-Tionghoa.

Novel itu diterbitkan Penerbit Ombak di Yogyakarta sebanyak 3.000 buku. Tanggapannya cukup bagus, karena kebetulan juga menjadi novel Indonesia pertama di Taiwan kala itu. Lalu, disusul novel berikutnya yang berjudul Nikmatnya Selingkuh Formosa (2010).

Novel kedua itu berangkat dari kegelisahan saya setelah melihat dan mendengar banyak cerita perselingkuhan yang terjadi. Terutama yang terkait dengan masyarakat Indonesia di Taiwan. Intinya, saya prihatin. Lalu terbersit ide untuk menuangkannya dalam bentuk novel dengan tema perselingkuhan. Saya kemas novel itu dengan gaya bahasa yang ringan dan cukup banyak humornya.

Karena penjualan novel kedua mencapai belasan ribu buku di Taiwan, saya kemudian berencana menuangkannya dalam sebuah film. Gayung bersambut, meski harus sabar menanti beberapa tahun. Akhirnya Bidar Batavia Film berminat memfilmkannya dan mengubah judulnya menjadi Diaspora Cinta di Taipei. Didukung oleh aktor aktris profesional seperti Jonathan Frizzy, Jill Gladys, dan lain-lain.

Apa hambatan dalam membuat film ini?

Yang paling berat adalah soal perizinan syuting di Taiwan, mengingat film tersebut adalah film nasional pertama yang hampir semua syutingnya dilakukan di Taiwan. Selain itu juga ada kendala bahasa dan waktu. Selebihnya tidak ada hambatan berarti, sehingga proses syuting pun relatif lancar. Ditambah lokasi syuting di Jakarta dan gunung Bromo, total proses syuting memakan waktu sekitar sebulan. Film yang juga saya produseri itu telah diputar di bioskop Indonesia pada awal Juli 2014 lalu.