Deyantoro, Sukses di Taiwan Berkat Bisnis Serba "Indonesia"

By nova.id, Jumat, 23 Oktober 2015 | 09:31 WIB
Deyantoro (Foto: Edwin Yusman F) (nova.id)

Kapan Anda memutuskan tinggal di Taiwan?

Setelah lulus S1, saya hijrah ke Taiwan, 29 Agustus 2000, untuk menempuh pendidikan bahasa Mandarin di Mandarin Training Centre-National Taiwan Normal University, Taipei City. Saya pilih Taiwan karena ingin belajar bahasa Mandarin di negara asalnya dan bisa bekerja part time untuk survive. Sehingga saya tidak selalu mengandalkan bantuan finansial keluarga.

Beruntung karena telah membekali diri dengan les Bahasa Mandarin di Surabaya selama kurang lebih setahun, saya tak begitu menemui kendala yang berarti dalam hal percakapan Mandarin yang sifatnya basic. Ditambah kemampuan Bahasa Inggris yang lumayan, jadi tidak terlalu sulit untuk beradaptasi di Taipei. Yang saya rasakan ketika awal-awal tiba malah excited bisa terlibat dalam pergaulan internasional lintas budaya.

Kapan Anda mulai membuka usaha di Taiwan?

Awalnya, karena banyaknya Warga Negara Indonesia di Taiwan. Jumlahnya hampir 300 ribu jiwa lho. Saya sendiri merasakan bahwa untuk mendapat produk-produk asal Indonesia itu cukup sulit dan tidak ada di setiap kota. Lahir dan besar di Indonesia membuat kita kangen makanan-makanan yang biasa kita temui di Indonesia. Hampir setiap akhir pekan, saya dan ribuan orang Indonesia beramai-ramai menuju kota Taoyuan menggunakan kereta api untuk mendapatkan beragam produk asal Indonesia.

Di sinilah saya menangkap peluang bisnis. Saya pikir, kenapa saya tidak bikin toko sendiri. Saya kemudian berpartner dengan Mr. Lai, kenalan saya asal Taiwan. Modalnya saya terpaksa minta dukungan finansial dari keluarga. Mr. Lai yang mengurus semua perizinan usaha dan sebagainya. Akhirnya keluarlah visa bisnis setelah menunggu kurang lebih 3 bulan.

Tanggal 16 Juni 2009 saya membuka usaha toko bernama Indojaya di Lantai 2 Stasiun Kereta Taipei. Bisa dibilang ini adalah toko Indonesia pertama di Taipei. Saat toko baru dibuka, toko saya diserbu pembeli. Situasinya seperti kerusuhan deh, yang beli banyak banget. He he he.

Bagaimana cara Anda mempromosikan usaha itu?

Saya sebarkan melalui brosur di stasiun dan masjid sekitar Taipei. Juga menyebarkan brosur dengan cara mengikuti truk sampah yang keliling di Taipei.

Kenapa truk sampah?

Karena ada banyak teman-teman TKI yang bekerja di rumah tangga dan hanya keluar rumah pada jam-jam tertentu. Salah satunya saat membuang sampah. Jadi, ketika truk sampah lewat, pasti ada teman-teman TKI yang datang membuang sampah. Tapi, setelah berkembang, toko itu kemudian justru saya tutup. Alasannya karena persaingan usaha toko-toko Indonesia makin sengit. Akibatnya margin keuntungan semakin tipis, saya putuskan beralih ke bidang usaha lain.

Apa usaha yang Anda pilih?

Saya pilih membuat majalah, karena remittance yang lebih menjanjikan dari segi profit. Padahal awalnya, saya benci dengan yang namanya usaha di bidang jurnalistik. Waktu kuliah S2 di Taipei, seorang teman menyampaikan pepatah yang mengatakan, ”Bila kamu ingin mencelakai sahabatmu, suruhlah dia membuat usaha atau bekerja di bidang media massa.” Karena bekerja di bidang jurnalistik, relatif tak mengenal waktu dan sangat melelahkan.

Saya pun waktu itu menyetujui pepatah itu. Tapi di lain sisi, ada sobat saya bernama Samsul T yang selalu menyarankan saya untuk menggeluti usaha di bidang jurnalistik. Entah kenapa, dia merasa saya sangat cocok di dunia jurnalistik. Herannya, meski saya cuek, sobat saya itu tak henti-hentinya memberi nasihat dan anjuran agar saya masuk dunia jurnalistik.

Terus apa yang akhirnya membuat Anda menekuni dunia jurnalistik?

Suatu ketika, datang seorang pemuda Taiwan ke toko saya. Kami mengobrol sampai merembet ke masalah belum adanya media massa dari dan untuk orang Indonesia di Taiwan. Padahal sudah ada media massa Vietnam, Filipina, dan Thailand. Pemuda itu bilang, “Tentu saja tak ada media massa Indonesia di Taiwan, karena otak masyarakat Indonesia di Taiwan ini bodoh semua. Jadi tidak mungkin ada media massa Indonesia di sini.” Wah, pernyataan itu sangat menyakitkan saya.

Tapi, saat itu saya hanya bisa tersenyum kecut dan membenarkan jawabannya. Karena ucapan itu, saya jadi termotivasi menerbitkan majalah. Saya namakan Majalah Indonesia Taiwan yang disingkat menjadi INTAI. INTAI adalah media massa berbahasa Indonesia pertama di Taiwan sejak oktober 2006.

Dari media, kemudian Anda menulis buku?

Bukan. Saya justru menerbitkan novel pertama yang berjudul Aku Terjebak di Taipei City pada Agustus 2006. Jadi buku dulu, baru majalah INTAI. Latar belakang munculnya buku itu karena saya mau memberikan sumbangsih pada dunia sastra Indonesia dengan tema alternatif. Yakni kisah berlatar nasionalisme dari sudut pandang seorang Indonesia-Tionghoa.

Novel itu diterbitkan Penerbit Ombak di Yogyakarta sebanyak 3.000 buku. Tanggapannya cukup bagus, karena kebetulan juga menjadi novel Indonesia pertama di Taiwan kala itu. Lalu, disusul novel berikutnya yang berjudul Nikmatnya Selingkuh Formosa (2010).

Novel kedua itu berangkat dari kegelisahan saya setelah melihat dan mendengar banyak cerita perselingkuhan yang terjadi. Terutama yang terkait dengan masyarakat Indonesia di Taiwan. Intinya, saya prihatin. Lalu terbersit ide untuk menuangkannya dalam bentuk novel dengan tema perselingkuhan. Saya kemas novel itu dengan gaya bahasa yang ringan dan cukup banyak humornya.

Karena penjualan novel kedua mencapai belasan ribu buku di Taiwan, saya kemudian berencana menuangkannya dalam sebuah film. Gayung bersambut, meski harus sabar menanti beberapa tahun. Akhirnya Bidar Batavia Film berminat memfilmkannya dan mengubah judulnya menjadi Diaspora Cinta di Taipei. Didukung oleh aktor aktris profesional seperti Jonathan Frizzy, Jill Gladys, dan lain-lain.

Apa hambatan dalam membuat film ini?

Yang paling berat adalah soal perizinan syuting di Taiwan, mengingat film tersebut adalah film nasional pertama yang hampir semua syutingnya dilakukan di Taiwan. Selain itu juga ada kendala bahasa dan waktu. Selebihnya tidak ada hambatan berarti, sehingga proses syuting pun relatif lancar. Ditambah lokasi syuting di Jakarta dan gunung Bromo, total proses syuting memakan waktu sekitar sebulan. Film yang juga saya produseri itu telah diputar di bioskop Indonesia pada awal Juli 2014 lalu.

Kapan Anda mulai suka menulis buku?

Keinginan membuat buku muncul setelah saya lulus MBA dari University of Detroit Mercy, Michigan State, Amerika Serikat, dan Fu Jen Catholic University, New Taipei City di bulan Mei 2006. Saya ingin menuliskan kisah hidup dalam sebuah novel. Siapa sangka sekarang sudah ada 3 novel. Bahkan untuk novel Nikmatnya Selingkuh Formosa sudah ada versi Mandarinnya sejak 2011. Ke depannya, saya masih ingin membuat novel lagi dengan tema yang berbeda dan lebih menantang.

Bicara mengenai buku pertama yang bertema nasionalisme, apa latar belakangnya dipilih tema tersebut?

Mungkin ini disebabkan status saya sebagai WNI Tionghoa. Oleh sebagian orang, WNI non-Tionghoa terkadang diragukan nasionalismenya. Justru ketika ada teman atau kenalan yang menyinggung saya terkait status saya yang “bermata sipit” membuat saya makin tertantang untuk membuktikan bahwa itu tak benar.

Ketika berada di Taiwan, saya kira jiwa patriotik saya justru semakin terpupuk. Orang Taiwan dan orang asing lain menganggap kami sebagai warga negara Indonesia, tanpa melihat latar belakang perbedaan suku, agama, ras, dan sebagainya. Jadi, apa pun yang kami lakukan di Taiwan, baik itu positif dan negatif selalu dikaitkan dengan nama Indonesia. Inilah yang kemudian membuat kami di sini semakin kompak.

Bahkan ketika saya mengambil S1 di Surabaya, saya pilih kampus Universitas Pembangunan Nasional yang banyak WNI non-Tionghoanya. Alasannya, karena sejak TK hingga SMA hampir semua teman saya dari etnis Tionghoa. Meski ada sedikit penolakan dari keluarga, teman etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa, saya tetap nekat. Mereka khawatir ada ancaman atau diskriminasi dalam pergaulan. Justru semakin ditolak, saya semakin tertantang untuk membuktikan bahwa saya bisa eksis dalam pergaulan lintas SARA di kampus.

Memang awalnya ada sedikit hambatan pada semester pertama, tapi tak mematahkan semangat untuk tetap berbaur sebagai sesama WNI. Hasilnya, justru saya bisa berteman dengan semua orang. Bahkan hingga kini saya memiliki beberapa teman baik di kampus. Kami buat kelompok Indonesia mini dengan sebutan Pelangi.

Apa saja kesibukan Anda saat ini?

Selain mengurusi usaha rumah makan GuciGuci, majalah INTAI dan remittance Indojaya, saya juga ikut terjun berbisnis traveling Worldventures. Berkat dukungan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei selaku satu-satunya perwakilan Pemerintah Indonesia di Taiwan, saya menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Toko Indonesia di Taiwan (APIT) sejak 2008.

Juga beberapa jabatan lain seperti Bendahara Panitia Natal KDEI sejak 2011, Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei tahun 2008/2009 dan 2013/2014, Ketua Indonesia Diaspora Network (IDN) Taiwan (Januari 2013). Terakhir, saya juga ditunjuk sebagai Vice President di IDN Global untuk Kawasan Asia Timur (Agustus 2013).

Bisa diceritakan sedikit kisah cinta dengan istri?

Istri saya adalah sepupu dari partner usaha rumah makan. Kebetulan dia juga belajar bahasa Mandarin di Taiwan dan membantu usaha yang kami dirikan. Intinya, tresno jalaran soko kulino alias cinta lokasi. Kami kemudian menikah tanggal 14 Desember 2007 dan dikaruniai 1 putri imut berusia 6 tahun dan 1 pangeran badung berusia 2 tahun. Ha ha ha.

Apa pendidikan yang Anda dan istri terapkan kepada anak-anak?

Saya mencoba dengan hal sederhana, yakni membiasakan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di rumah maupun dengan teman WNI di luar. Kami juga mulai mengenalkan kepada mereka bahwa kami adalah orang Indonesia, bukan orang Taiwan. Juga mengajak anak sulung les tari Pendet di KDEI Taipei, mencoba berbagai kuliner Indonesia, serta wajib berlibur ke Indonesia minimal setahun sekali.

Apa yang Anda lakukan di waktu libur?

Hobi saya traveling keliling dunia. Target saya setidaknya ada 1 negara baru yang wajib saya kunjungi tiap tahun. Tahun ini target saya Vietnam, Perancis, dan Spanyol. Dengan keliling dunia, tentu bisa membuka wawasan kita agar makin bijak dalam menjalani hidup.

Edwin F. Yusman