Deyantoro, Sukses di Taiwan Berkat Bisnis Serba "Indonesia"

By nova.id, Jumat, 23 Oktober 2015 | 09:31 WIB
Deyantoro (Foto: Edwin Yusman F) (nova.id)

Kapan Anda mulai suka menulis buku?

Keinginan membuat buku muncul setelah saya lulus MBA dari University of Detroit Mercy, Michigan State, Amerika Serikat, dan Fu Jen Catholic University, New Taipei City di bulan Mei 2006. Saya ingin menuliskan kisah hidup dalam sebuah novel. Siapa sangka sekarang sudah ada 3 novel. Bahkan untuk novel Nikmatnya Selingkuh Formosa sudah ada versi Mandarinnya sejak 2011. Ke depannya, saya masih ingin membuat novel lagi dengan tema yang berbeda dan lebih menantang.

Bicara mengenai buku pertama yang bertema nasionalisme, apa latar belakangnya dipilih tema tersebut?

Mungkin ini disebabkan status saya sebagai WNI Tionghoa. Oleh sebagian orang, WNI non-Tionghoa terkadang diragukan nasionalismenya. Justru ketika ada teman atau kenalan yang menyinggung saya terkait status saya yang “bermata sipit” membuat saya makin tertantang untuk membuktikan bahwa itu tak benar.

Ketika berada di Taiwan, saya kira jiwa patriotik saya justru semakin terpupuk. Orang Taiwan dan orang asing lain menganggap kami sebagai warga negara Indonesia, tanpa melihat latar belakang perbedaan suku, agama, ras, dan sebagainya. Jadi, apa pun yang kami lakukan di Taiwan, baik itu positif dan negatif selalu dikaitkan dengan nama Indonesia. Inilah yang kemudian membuat kami di sini semakin kompak.

Bahkan ketika saya mengambil S1 di Surabaya, saya pilih kampus Universitas Pembangunan Nasional yang banyak WNI non-Tionghoanya. Alasannya, karena sejak TK hingga SMA hampir semua teman saya dari etnis Tionghoa. Meski ada sedikit penolakan dari keluarga, teman etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa, saya tetap nekat. Mereka khawatir ada ancaman atau diskriminasi dalam pergaulan. Justru semakin ditolak, saya semakin tertantang untuk membuktikan bahwa saya bisa eksis dalam pergaulan lintas SARA di kampus.

Memang awalnya ada sedikit hambatan pada semester pertama, tapi tak mematahkan semangat untuk tetap berbaur sebagai sesama WNI. Hasilnya, justru saya bisa berteman dengan semua orang. Bahkan hingga kini saya memiliki beberapa teman baik di kampus. Kami buat kelompok Indonesia mini dengan sebutan Pelangi.

Apa saja kesibukan Anda saat ini?

Selain mengurusi usaha rumah makan GuciGuci, majalah INTAI dan remittance Indojaya, saya juga ikut terjun berbisnis traveling Worldventures. Berkat dukungan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei selaku satu-satunya perwakilan Pemerintah Indonesia di Taiwan, saya menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Toko Indonesia di Taiwan (APIT) sejak 2008.

Juga beberapa jabatan lain seperti Bendahara Panitia Natal KDEI sejak 2011, Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei tahun 2008/2009 dan 2013/2014, Ketua Indonesia Diaspora Network (IDN) Taiwan (Januari 2013). Terakhir, saya juga ditunjuk sebagai Vice President di IDN Global untuk Kawasan Asia Timur (Agustus 2013).

Bisa diceritakan sedikit kisah cinta dengan istri?

Istri saya adalah sepupu dari partner usaha rumah makan. Kebetulan dia juga belajar bahasa Mandarin di Taiwan dan membantu usaha yang kami dirikan. Intinya, tresno jalaran soko kulino alias cinta lokasi. Kami kemudian menikah tanggal 14 Desember 2007 dan dikaruniai 1 putri imut berusia 6 tahun dan 1 pangeran badung berusia 2 tahun. Ha ha ha.

Apa pendidikan yang Anda dan istri terapkan kepada anak-anak?

Saya mencoba dengan hal sederhana, yakni membiasakan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di rumah maupun dengan teman WNI di luar. Kami juga mulai mengenalkan kepada mereka bahwa kami adalah orang Indonesia, bukan orang Taiwan. Juga mengajak anak sulung les tari Pendet di KDEI Taipei, mencoba berbagai kuliner Indonesia, serta wajib berlibur ke Indonesia minimal setahun sekali.

Apa yang Anda lakukan di waktu libur?

Hobi saya traveling keliling dunia. Target saya setidaknya ada 1 negara baru yang wajib saya kunjungi tiap tahun. Tahun ini target saya Vietnam, Perancis, dan Spanyol. Dengan keliling dunia, tentu bisa membuka wawasan kita agar makin bijak dalam menjalani hidup.

Edwin F. Yusman