Sukses dengan sinetron, aku merasa sudah saatnya membuat film. Akhirnya di akhir tahun 2005 kami mulai mencari skenario. Ketika aku sedang berlibur dengan keluarga di Amerika, Jamal, Public Relation MD, menelepon.
Dia bilang ada sebuah buku berjudul Ayat-ayat Cinta (AAC) laris sekali. Aku langsung minta dia untuk ceritakan aku isi buku itu dalam satu menit! Aku bilang, benar-benar dalam satu menit aku harus tahu apa isi buku itu.
Setelah Jamal menceritakan, aku langsung memutuskan, YA! Aku ingin membuat film dari buku itu. Aku bilang, I want it now ! Aku juga meminta Jamal untuk pergi menemui penulis bukunya, Habiburrahman El Shirazy, ke Solo saat itu juga. "Enggak boleh berangkat besok, harus saat itu juga! Undang Habib ke Jakarta untuk membicarakan semuanya," ucapku saat itu.
Januari 2006, aku bertemu dengan Habib dan langsung membicarakan keinginan kami membuat AAC versi layar lebar. Habib bilang dia ingin diberikan waktu untuk salat tahajud dulu sebelum menjawab iya atau tidaknya. Pasalnya, dia mendapat tiga tawaran yang sama, aku enggak tahu dari mana saja.
Keesokan harinya, Habib datang menemui aku dan dia bilang dia memilih MD. Aku langsung mencari sutradara yang tepat untuk film ini. Sampai enam bulan kemudian, aku melihat film karya Hanung Bramantyo berjudul Jomblo. Hanung beragama Islam dan lulusan Muhammadiyah, aku pikir dia adalah orang yang pas untuk film ini.
Aku langsung panggil Hanung, dan dia bertanya mengapa aku mau membuat film ini. Aku katakan bahwa lebih dari 85 persen warga Indonesia beragama Islam, kita mau kasih apa bila tidak film ini? Dia pun setuju dan kami langsung bergerak cepat. Kami langsung kirim kru beberapa kali studi dan survey ke Kairo. Sementara itu scrip-nya juga berjalan beriringan.
Formula Titanic Di tengah pembuatan AAC, aku bertemu dengan Joko Anwar. Joko menawarkan sebuah film berjudul Kala. Aku suka dengan film dia yang berjudul Janji Joni, seleranya bagus. Makanya langsung aku setuju film itu untuk dibuat di MD, aku percaya pilihan Joko.
Meski begitu, di lain sisi aku yakin bahwa film ini bukan proyek untung. Bahkan Februari 2007 ketika film itu selesai diedit, aku bilang bahwa 85 persen kita akan rugi. Ternyata benar, ketika film perdana dari MD Pictures tersebut ditayangkan ditanggapan, respon masyarakat sangat kurang. Filmnya tidak jelek, hanya saja film itu bertentangan dengan selera pasar.
Belajar dari situ, aku bilang ke Hanung bahwa film AAC ini juga sangat bertentangan dengan selera pasar. Oleh karena itu aku tidak mau memberikan banyak modal dalam pembuatan film AAC. Aku ingin membuat film yang membuat orang merasa puas usai menontonnya.
Awalnya, aku tidak sreg dengan script AAC yang dibikin Hanung. Bagiku, itu kurang komersil dan tidak komunikatif. Akhirnya, aku kasih Hanung DVD Kuch-kuch Hota Hai dan Titanic. Agar dia bisa mempelajari formula dari film itu. Setelah itu, kami mulai merombak formula AAC. Padahal itu dua minggu sebelum syuting lho!
Edwin Yusman F. Foto: Dok. Pribadi