Kasus Sintya, Ini Kemungkinan Penyebab Penculik Tak Lakukan Kekerasan pada Korban

By , Jumat, 24 Juli 2015 | 10:00 WIB
ini alasan mengapa penculik Sintya tidak melakukan kekerasan seksual dan fisik (Nova)

Kabar seputar penculikan yang menimpa bocah berusia 6 tahun bernama Sintya Hermawan saat sedang bermain di tempat bermain anak di Pusat Grosir Cililitan (PGC) Kramat Jati, Jakarta Timur, cukup mengejutkan warga ibukota, khususnya para orangtua.

Tidak seperti kasus kriminal penculikan pada umumnya, pelaku yang diduga lebih dari satu orang tersebut tidak meminta imbalan maupun melakukan kekerasan seksual dan fisik pada Sintya. Bahkan, korban penculikan dikembalikan pada orangtuanya. Keanehan ini tentu merupakan berita baik yang disambut rasa syukur oleh segenap keluarga Sintya setelah melihat hasil tes visum pada tubuh Sintya.

Baca: Ini Cara Mencegah Anak Jadi Korban Penculikan

Penasaran, tabloidnova.com bertanya seputar kejanggalan modus penculikan yang dialami oleh Sintya dari kacamata psikologis. Berikut penjelasan dari Psikolog, Ayoe Sutomo pada tabloidnova.com .

Baca: Begini Kronologi Penculikan Sintya di PGC

“Sebetulnya banyak alasan mengapa penculikan tidak melukai fisik atau kekerasan seksual pada si korban. Tapi, menurut saya lebih pada proses mental yang dialami penculik saat membandingkan risiko dari tetap melanjutkan penculikan dengan manfaat yang akan diterima oleh penculik dibandingkan kembali melepaskan si anak,” jelas Ayoe. Dengan kata lain, faktor risiko di kemudian hari menjadi salah satu alasannya.

Baca: Sempat Diculik di PGC, Bocah Sintya Diantar Pulang Supir Taksi

Ditambahkan Ayoe, faktor risiko bagi penculik menjadi semakin besar berkat peran sosial media yang secara viral menyebarkan berita penculikan bocah berusia 6 tahun bernama Sintya.

Baca: Diduga Mengalami Trauma, Kondisi Fisik dan Psikis Sintya Diperiksa

Lalu, apakah sang anak korban penculikan akan lebih mudah atau cepat melupakan trauma meskipun tidak mengalami kekerasan seksual maupun fisik dari pelaku?

“Semuanya sangat bergantung pada tipe anak dan dukungan sosial terdekat. Walau bersyukur tidak mengalami kekerasan, anak tetap harus menjalani play therapy atau art therapy yang menyenangkan sekaligus menyembuhkan trauma. Terapi harus dilakukan oleh ahli yang dibantu oleh orangtua, guru dan pengasuh,” saran Ayoe.