Saya dilahirkan dalam lingkungan yang akrab dengan agama, putra pertama dari enam bersaudara Haji Abdullah dan Hajjah Siti Komarayani. Orangtua sebenarnya memiliki pemahaman Islam yang berbeda tetapi mereka dapat bersatu dalam harmoni keluarga. Sebagai anak sulung, saya memang terbiasa mandiri sedari kecil. Saya tidak pernah bisa betah di rumah. Bukan karena tidak suka, tetapi saya memang aktif dan penuh kegiatan.
Sejak duduk di SDN 03 Pagi Cipinang Besar Utara, setiap pulang sekolah di siang hari saya akan melanjutkan belajar agama di sekolah non formal Diniyyah hingga sore hari. Belum lagi, di malam saya masih harus belajar mengaji. Kehidupan beragama dalam keluarga kami memang sangat kental. Untungnya, saya menikmatinya dan tidak merasa terpaksa melakukannya.
Layaknya anak kecil lainnya, saya pun suka bermain dengan teman-teman. Kebetulan, halaman belakang rumah di kawasan Cipinang dekat dengan tempat pemakaman umum. Bukannya takut, tapi malah jadi tempat bermain saya dan teman-teman, Ha ha ha. Saya juga sempat mengikuti ilmu bela diri karate, bahkan saat lulus SD saya sudah menyabet sabuk hitam.
Tamat SD, saya ditawari kakek masuk ke Sekolah Menengah Pertama, bahkan diiming-imingi akan dibelikan motor. Ya, saya memang cucu pertama, jadi saat itu kakek ingin memanjakan saya. Sayangnya, saya justru tertarik masuk pondok pesantren. Sepertinya, belajar mandiri dan berkumpul dengan banyak teman dari berbagai daerah menyenangkan. Saya lihat, salah seorang sepupu yang jadi anak pesantren itu mendapatkan perhatian lebih saat pulang. Apa saja diberikan. Ha ha ha. Akhirnya, saya minta masuk pondok pesantren. Dan setelah mencari pondok pesantren ke sana-ke mari, saya diterima di pondok pesantren Darul Muttaqin, Parung, Bogor.
Jago Pidato
Dulu, papa dan mama setiap minggu selalu datang menjenguk ke pondok. Alih-alih bahagia, saya justru malu dan tidak suka. Rasanya, sebagai anak laki-laki kok kelihatan manja kalau dijenguk, apalagi kalau harus makan siang bersama di tengah lapangan. He he. Saya memang enggak suka dikunjungi. Tetapi, kedua orangtua juga tahu betul watak anaknya, jadi mereka pun tetap datang tanpa memberi kabar. Diam-diam sudah sampai. Saking enggak sukanya dikunjungi, saya malah dulu minta uang jajannya lewat wesel pos.
Karena terbiasa mandiri dan jarang berada di rumah, saat liburan tiba, saya justru memilih menghabiskan waktu di luar rumah. Apalagi banyak teman-teman pondok yang rumahnya tersebar di Jakarta. Semua teman saya coba hubungi dan sering janjian ketemu dan main di luar. Untungnya, menjadi anak pondok memang istimewa, jadi saat pulang dan banyak main pun enggak pernah kena marah juga. Ha ha.
Ketika duduk di kelas 2 SMP, pondok pesantren mengadakan lomba pidato bahasa Inggris. Masalahnya, enggak ada teman-teman yang mau jadi perwakilan kelas. Entah kenapa, saat itu saya yang diminta maju mewakili kelas. Wah, karena terdesak dan enggak bisa menolak, alhasil saya pun maju dan berusaha menghapalkan naskah pidato. Saya berlatih setiap hari agar bisa hapal ngelotok. Eh, enggak disangka saya justru malah jadi pemenang. Dari sini, saya mulai suka dan keterusan mengikuti kompetisi pidato berbahasa Inggris.
Saat itu, saya diminta mewakili pesantren untuk perlombaan tingkat kecamatan Parung. Enggak disangka, saya kembali meraih juara dan diminta mewakili kompetisi antar kabupaten. Ternyata, saya juga menang dan akhirnya diutus mewakili propinsi Jawa Barat. Saya pun ikut lomba hingga ke pondok pesantren Gontor di Jawa Timur. Saking bangganya, papa bela-belain datang ke Gontor memberikan dukungan dan melihat saya berlomba.
Saya tadinya bersikeras supaya orangtua tidak usah datang, cukup mendoakan. Tapi seperti biasa, beliau datang diam-diam. Ha ha. Tiba-tiba saja, saya diminta datang ke ruang tamu karena ada yang ingin berkunjung. Ternyata papa. Saya bersyukur memiliki orangtua yang sangat mendukung semua kegiatan saya. Hasilnya, saya kembali menang lomba pidato bahasa Inggris tingkat nasional. Selain mendapat semangat dari papa, saya juga mendapat tambahan uang jajan.
Sebulan berada di pondok pesantren Gontor membuat saya ingin pindah ke sana. Fasilitas dan kegiatan ekstrakurikulernya lengkap dan komplet. Saya merasa lebih hidup karena enggak bisa diam dan rasanya cocok dengan kegiatan di sana, mulai majalah dinding, silat, hingga kaligrafi. Sayangnya, orangtua tidak memberikan izin pindah. Sempat terlintas untuk nekat, tapi enggak jadi. Akhirnya, saya menghabiskan pendidikan hingga tingkat Madrasah Aliyah alias SMA di pondok pesantren Darul Muttaqien, Parung, Bogor.
Mulai Hobi Traveling