Curahan Hati Ibunda Dania: "Maafkan Mama, Neng...''

By nova.id, Sabtu, 29 Agustus 2015 | 10:01 WIB
Ungkapan rasa sayang yang dituliskan Eneng di secarik kertas ini akan selalu disimpan Neneng. (Foto: Adrianus Adrianto / NOVA) (nova.id)

Singkat cerita, 27 Juli lalu setelah libur Lebaran di Sukabumi, Eneng meminta izin kembali ke Bandung karena kuliah sudah mau dimulai. Tanpa disangka, itulah kali terakhir kami bertemu muka. Sesampainya di Bandung, kami masih berbicara melalui telepon. Seperti biasa, walau berjauhan kami masih saling berkomunikasi. Dia rajin menanyakan kabar saya dan kadang minta dikirimi foto saya lagi ngapain saat itu.

Dia memang anak yang selalu ceria dan obrolan kami selalu menyenangkan. Malah kalau saya sedang ada masalah dengan papanya, dia menasihati saya. Tidak seperti kakak dan adiknya, dia berbeda dengan saudara-saudaranya. Kalau di rumah, dialah yang paling rajin mengajak semua salat. Kalau kakak atau adiknya belum berangkat ke masjid atau ambil wudu, dia akan terus menerus menyuruh salat.

Dari ceritanya, Eneng senang sekali kuliah dan tinggal di Bandung. Kawannya juga banyak. Banyak cerita lucu yang ia sampaikan. Pernah suatu saat, Eneng tertidur dengan wajahnya yang jelek. Oleh temannya, difoto dan kemudian foto itu dijadikan profile picture BBM-nya. Tapi dia enggak pernah marah, karena memang dia juga kadang suka usil.

Love Badag

Enggak ada firasat apa pun sebelumnya hingga saya mengetahui Eneng telah tiada. Hanya saja, sejak awal Agustus kemarin komunikasi saya dengannya tidak lancar seperti biasa. Bahkan ketika dia berulang tahun pada tanggal 7 Agustus, saya kirim ucapan ulang tahun beserta doa lewat BBM, dibalasnya agak lama. Setelah saya cari tahu, ternyata dia sedang berada di Yogya bersama teman-temannya. Kuliahnya sedang libur karena ada kegiatan Ospek mahasiswa baru.

Ternyata, baru belakangan saya ketahui, dari Yogya dia melanjutkan ke Malang dan bersiap mendaki Gunung Semeru bersama teman-temannya. Saya enggak dikasih tahu, karena dia tahu kalau saya bakal melarang. Sampai kemudian saya ketahui kabarnya pada 12 Agustus sore. Kabar itu mengatakan bahwa di hari itu, Eneng meninggal pukul 05.25 WIB saat mendaki Gunung Semeru.

Bagai disambar petir, informasi dari Polres Lumajang itu membuat tubuh ini lemas tak berdaya. Walau saya masih meyakinkan diri itu bukan Dania, namun informasi yang saya terima mengatakan demikian. Saya semakin yakin setelah suami melihat jenazahnya secara langsung keesokan harinya.

Dari saku pakaiannya ditemukan selembar kertas bertuliskan betapa sayangnya dia sama saya. Dia bilang “Love Badag” yang artinya sayang sekali dengan saya. Susah diungkapkan betapa harunya saya membaca tulisan tangannya. Tulisan itu rencananya akan dibawa ke puncak Gunung Semeru.

Itulah Eneng yang selalu ceria, terbuka dan sangat menyayangi mamanya, saya. Saya bangga sekali pada dia, enggak ada kata-kata indah lain yang bisa saya ucapkan. Apa yang dia tuliskan itu adalah apa yang dipikirkan saat itu. Bukan hanya itu saja, kalau di-BBM dia juga selalu mesra dengan saya. Dia selalu menyanjung saya dan menyatakan kalau dia cinta saya. Yang paling ngangenin itu ya, ketika dia pulang. Selalu heboh dan minta dibuatkan masakan kesukaannya, tumis udang dan tumis cumi.

Enggak disangka, Eneng juga disayang banyak orang. Itu terbukti dengan banyaknya orang yang datang untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Saya salut dan terharu melihatnya. Belum tentu ketika saya meninggal nanti akan seperti ini. Ini bukti bahwa Eneng banyak yang sayang, peduli dan mendoakannya.

Sampai-sampai Walikota Sukabumi dan Rektor Universitas Pasundan datang ke rumah. Teman-temannya dari TK sampai universitas juga datang. Saya enggak bisa menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka satu per satu, hanya bisa mendoakan agar kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT. Belum lagi ucapan duka cita dari teman-temannya yang lain melalui media sosial.

Dengan begitu pula, saya menjadi kuat menerima musibah ini. Berkat dukungan mereka, keluarga dan sahabat, alhamdulillah saya bisa tabah. Bahkan ketika menyambut jenazah Eneng saya seperti menyambut dia pulang dari kampusnya. Saya peluk dan menciumi dia seperti dia biasa memeluk dan menciumi saya.

Subhanallah saya enggak ada rasa kesal atau marah walau dia naik gunung tanpa memberitahu saya. Teman-temannya banyak yang minta maaf karena tidak memberitahu bahwa Eneng memang suka naik gunung. Tapi yang sudah terjadi, saya hanya bisa berserah diri dan malah merasa sayalah yang salah.

Saya salah karena terlalu egois dan ketakutan, jadi anak merasa tertekan dan menyembunyikan keinginannya naik gunung.

Saya merasa berdosa, saya minta maaf kepada Allah. Mamah minta maaf sama Eneng. Karena kekhawatiran saya, anak jadi enggak terus terang. Saya yakin dia enggak terus terang karena saking sayangnya kepada saya dan enggak ingin saya khawatir. Selamat jalan, Eneng...

Edwin Yusman F.