Seminggu setelah kepergian Eneng (panggilan sayang Neneng buat Dania – Red.), masih terasa keceriaan yang selalu dihadirkannya setiap kali bertemu. Sejak kecil, Eneng memang anaknya ceria dan enggak pernah menyusahkan. Bahkan sejak dari kandungan malah, saya enggak merasakan ngidam macam-macam dan lancar ketika melahirkannya.
Setiap hari saya berjualan oleh-oleh di Terminal Bus Sukabumi demi membantu keluarga. Lumayan untuk tambah-tambah penghasilan suami yang bekerja sebagai PNS. Itu sebabnya kenapa sejak kecil anak-anak saya didik mandiri. Sejak sekolah TK, Eneng sudah bisa berangkat dan pulang sekolah sendiri. Hidup kami sederhana, jadi enggak ada waktu bermanja-manja.
Eneng dikenal sebagai anak tomboi, bahkan teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Dadang. Lahir 7 Agustus 1996, Eneng aktif di kegiatan organisasi sekolah dan luar sekolah sejak SMP. Anaknya enggak bisa diam, cerewet. Enggak heran dia selalu mendapat jabatan di organisasinya. Kalau bukan jadi ketua, dia jadi bendahara. Kegiatan luar sekolah yang paling banyak diikuti adalah kebanyakan kegiatan sosial.
Bahkan ketika SMA, justru saya yang sering marah. Soalnya, dia banyak melakukan kegiatan di luar, sementara dia punya penyakit bronkitis. Kalau kecepekan atau kepanasan, dia bisa pingsan. Walau banyak ikut di berbagai organisasi, nilai akademiknya di sekolah juga bagus dan selalu masuk 10 besar.
Yang paling saya ingat adalah kebiasaannya sehari-hari. Eneng yang paling cerewet dan heboh. Kalau kumpul keluarga, selalu dia yang bikin ramai. Dia juga sangat terbuka dan mudah menunjukkan perasaannya, terlebih kepada saya. Bahkan dia selalu cerita jika sedang dekat dengan lawan jenis.
Sejak kuliah di Universitas Pasundan, Bandung, setiap kali dia pulang ke rumah pasti suasana jadi heboh. Dari ujung jalan ke rumah, Eneng sudah teriak-teriak memanggil saya dengan sebutan ‘Mamake.’ Dia juga selalu menyapa para tetangga dan menyalami mereka. Saya sampai bingung, enggak tahu dari mana itu sebutan ‘Mamake’ berasal. Kalau sudah ketemu saya, tasnya langsung dilempar dan memeluk lalu menciumi saya. Enggak cuma sekali cium, pokoknya sampai habis wajah saya ini diciuminya.
Selalu Khawatir
Sebenarnya, awalnya saya kurang sreg dia memutuskan kuliah di Bandung. Saya ingin dia menjadi bidan dan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) dekat rumah. Saya enggak ingin anak-anak jauh. Tapi dia enggak mau dan tetap dengan keinginannya kuliah di Teknik Industri. Dia bilang, lulus kuliah nanti dia ingin menjadi pemimpin sebuah perusahaan supaya dapat penghasilan besar dan membahagiakan saya dan papanya.
Ternyata, pada semester pertama kuliah, dia berhasil membuktikan kepada saya jika pilihannya tepat. Dia mendapat nilai bagus dengan IPK 3,16. Dari situ saya semakin yakin bahwa ini memang keinginannya.
Di kampus dia juga aktif di berbagai organisasi. Hanya yang enggak saya tahu, ternyata dia juga aktif dalam kegiatan mendaki gunung. Dia enggak blak-blakan soal itu, soalnya dia tahu saya pasti enggak akan setuju dia naik gunung. Saya memang maunya anak-anak memiliki kegiatan yang biasa-biasa saja. Bukan naik-naik gunung atau kemping. Saya takut anak saya celaka, kedinginan dan lain-lain.
Jangankan soal itu, kalau anak-anak sedang main saja saya selalu was-was dengan keselamatan mereka. Mungkin karena saya sayang sekali sama mereka dan enggak mau mereka terluka ya? Setiap pergi piknik, saya juga sering panik dan teriak jika melihat anak-anak lari-larian atau naik pohon. Apalagi tahu mereka naik gunung.
Saya jadi ingat, dulu pernah ada yang selfie di Gunung Merapi dan jatuh. Saat berita itu keluar di media, saya dan Eneng kebetulan sedang menonton televisi. Saat itu saya bilang, saya enggak mau punya anak naik-naik gunung. Takut! Tapi kata Eneng, “Di atas itu indah lo, Mah. Enak kalau sudah di atas gunung itu.” Namun saya jawab bahwa saya enggak mau. Saya enggak mau ada anak-anak saya yang naik gunung.
Singkat cerita, 27 Juli lalu setelah libur Lebaran di Sukabumi, Eneng meminta izin kembali ke Bandung karena kuliah sudah mau dimulai. Tanpa disangka, itulah kali terakhir kami bertemu muka. Sesampainya di Bandung, kami masih berbicara melalui telepon. Seperti biasa, walau berjauhan kami masih saling berkomunikasi. Dia rajin menanyakan kabar saya dan kadang minta dikirimi foto saya lagi ngapain saat itu.
Dia memang anak yang selalu ceria dan obrolan kami selalu menyenangkan. Malah kalau saya sedang ada masalah dengan papanya, dia menasihati saya. Tidak seperti kakak dan adiknya, dia berbeda dengan saudara-saudaranya. Kalau di rumah, dialah yang paling rajin mengajak semua salat. Kalau kakak atau adiknya belum berangkat ke masjid atau ambil wudu, dia akan terus menerus menyuruh salat.
Dari ceritanya, Eneng senang sekali kuliah dan tinggal di Bandung. Kawannya juga banyak. Banyak cerita lucu yang ia sampaikan. Pernah suatu saat, Eneng tertidur dengan wajahnya yang jelek. Oleh temannya, difoto dan kemudian foto itu dijadikan profile picture BBM-nya. Tapi dia enggak pernah marah, karena memang dia juga kadang suka usil.
Love Badag
Enggak ada firasat apa pun sebelumnya hingga saya mengetahui Eneng telah tiada. Hanya saja, sejak awal Agustus kemarin komunikasi saya dengannya tidak lancar seperti biasa. Bahkan ketika dia berulang tahun pada tanggal 7 Agustus, saya kirim ucapan ulang tahun beserta doa lewat BBM, dibalasnya agak lama. Setelah saya cari tahu, ternyata dia sedang berada di Yogya bersama teman-temannya. Kuliahnya sedang libur karena ada kegiatan Ospek mahasiswa baru.
Ternyata, baru belakangan saya ketahui, dari Yogya dia melanjutkan ke Malang dan bersiap mendaki Gunung Semeru bersama teman-temannya. Saya enggak dikasih tahu, karena dia tahu kalau saya bakal melarang. Sampai kemudian saya ketahui kabarnya pada 12 Agustus sore. Kabar itu mengatakan bahwa di hari itu, Eneng meninggal pukul 05.25 WIB saat mendaki Gunung Semeru.
Bagai disambar petir, informasi dari Polres Lumajang itu membuat tubuh ini lemas tak berdaya. Walau saya masih meyakinkan diri itu bukan Dania, namun informasi yang saya terima mengatakan demikian. Saya semakin yakin setelah suami melihat jenazahnya secara langsung keesokan harinya.
Dari saku pakaiannya ditemukan selembar kertas bertuliskan betapa sayangnya dia sama saya. Dia bilang “Love Badag” yang artinya sayang sekali dengan saya. Susah diungkapkan betapa harunya saya membaca tulisan tangannya. Tulisan itu rencananya akan dibawa ke puncak Gunung Semeru.
Itulah Eneng yang selalu ceria, terbuka dan sangat menyayangi mamanya, saya. Saya bangga sekali pada dia, enggak ada kata-kata indah lain yang bisa saya ucapkan. Apa yang dia tuliskan itu adalah apa yang dipikirkan saat itu. Bukan hanya itu saja, kalau di-BBM dia juga selalu mesra dengan saya. Dia selalu menyanjung saya dan menyatakan kalau dia cinta saya. Yang paling ngangenin itu ya, ketika dia pulang. Selalu heboh dan minta dibuatkan masakan kesukaannya, tumis udang dan tumis cumi.
Enggak disangka, Eneng juga disayang banyak orang. Itu terbukti dengan banyaknya orang yang datang untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Saya salut dan terharu melihatnya. Belum tentu ketika saya meninggal nanti akan seperti ini. Ini bukti bahwa Eneng banyak yang sayang, peduli dan mendoakannya.
Sampai-sampai Walikota Sukabumi dan Rektor Universitas Pasundan datang ke rumah. Teman-temannya dari TK sampai universitas juga datang. Saya enggak bisa menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka satu per satu, hanya bisa mendoakan agar kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT. Belum lagi ucapan duka cita dari teman-temannya yang lain melalui media sosial.
Dengan begitu pula, saya menjadi kuat menerima musibah ini. Berkat dukungan mereka, keluarga dan sahabat, alhamdulillah saya bisa tabah. Bahkan ketika menyambut jenazah Eneng saya seperti menyambut dia pulang dari kampusnya. Saya peluk dan menciumi dia seperti dia biasa memeluk dan menciumi saya.
Subhanallah saya enggak ada rasa kesal atau marah walau dia naik gunung tanpa memberitahu saya. Teman-temannya banyak yang minta maaf karena tidak memberitahu bahwa Eneng memang suka naik gunung. Tapi yang sudah terjadi, saya hanya bisa berserah diri dan malah merasa sayalah yang salah.
Saya salah karena terlalu egois dan ketakutan, jadi anak merasa tertekan dan menyembunyikan keinginannya naik gunung.
Saya merasa berdosa, saya minta maaf kepada Allah. Mamah minta maaf sama Eneng. Karena kekhawatiran saya, anak jadi enggak terus terang. Saya yakin dia enggak terus terang karena saking sayangnya kepada saya dan enggak ingin saya khawatir. Selamat jalan, Eneng...
Edwin Yusman F.