Curhat Ibunda Pramugari Trigana Air

By nova.id, Minggu, 6 September 2015 | 06:51 WIB
Orang Tua Dita Amelia Kurniawan, Pramugari Trigana AIr. (Foto: Hasuna / NOVA) (nova.id)

Semasa hidupnya Dita tidak pernah neko-neko dan punya banyak teman, sampai-sampai banyak yang tak kukenal yang datang ke rumah dan pemakaman. Hanya saja, ada satu yang masih mengganjal di hatiku, mengapa dia harus pergi secepat itu? Padahal, aku belum puas bersamanya. Setelah bekerja sebagai pramugari, kami hanya bertemu hanya sebentar saja tiap kali libur, paling lama lima hari. Umurnya juga masih sangat muda dan cita-citanya untuk menjadi notaris belum tercapai.

Bahkan, memulai kuliahnya saja belum, karena seharusnya sebentar lagi ia kuliah di Jurusan Hukum. Aku ingat, dia ingin kelak memiliki gelar sarjana di belakang namanya. Dia memilih kampus ini karena jadwal kuliahnya bisa disesuaikan dengan jadwal kerjanya. Dita sendiri menjadi pramugari selepas SMA. Sebetulnya tak ada pemikiran ke sana. Ia ingin kuliah setelah lulus SMA agar bisa menyenangkan dan membantuku.

Hanya saja, kukatakan padanya bahwa ia cantik, mengapa tak mencoba menjadi pramugari. Ia sempat ragu apakah bisa, Dita lalu mendaftar ke sekolah pramugari Caraka Nusantara di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tiga bulan menjalani pendidikan, ia yang sebelumnya cukup tomboi, berubah jadi feminin. Setelah lulus dan melamar ke beberapa maskapai, ia diterima di Trigana Air.

Sebetulnya, selama tiga tahun bekerja, pasti ada peristiwa berisiko tinggi yang dialaminya. Namun, ia tak pernah menceritakan hal itu padaku maupun papanya karena tak ingin membuat kami cemas. Kalau kukonfirmasi padanya, ia malah menyuruhku tak usah memikirkan hal itu. Setiap kali hendak berangkat terbang, ia selalu bilang, meski di rumah ia adalah anak mama dan papanya, di luar ia milik orang banyak.

Kalau kutanya apakah ia pernah takut ketika terbang? Ia menenangkan hatiku. Katanya, mau di mana pun, meski sedang duduk, kalau sudah waktunya, pasti ajal akan datang. Kadang, kalau sudah datang “tuanya” ia sering mengatakan nasihat-nasihat seperti itu. Tak kusangka, Dita yang semasa kecilnya cengeng tiap kali diledekin, kini jadi mandiri dan dewasa. Walaupun, kalau sudah kumat manjanya, dia akan sangat manja padaku.

Baca juga: Tiga Balita Ikut Jadi Korban Jatuhnya Pesawat Trigana Air

Aku tak tahu apakah peristiwa yang terjadi tiga minggu sebelum kejadian bisa disebut firasat atau bukan. Saat itu, aku, Dita, Ian, dan Mama Fera sedang makan bersama di sebuah tempat makan. Ia memesan banyak makanan, karena Dita memang sulit menahan lapar. Ia juga menggemari bakso dansteak. Diledekin nanti bisa gendut, ia cuek saja. Kami tertawa melihatnya. Ia bilang, “Udah, jangan ketawa-ketawa. Nanti giliran pesawat jatuh aja, pada nangis.” Aku langsung melarangnya bicara seperti itu. Dia jawab, cuma bercanda.

Dita memang senangngocol, kadang sampai masuk ke kulkas segala. Nah, dua hari sebelum kejadian, ia diantar ke Bandara Soekarno-Hatta olehku, Ian, dan Mama Fera. Saat berpapasan dengan tetangga, banyak yang bilang ia terlihat lebih cantik dari biasanya. Di mobil, kami bercanda, nyanyi, dan joget bareng. Sampai bandara, sambil membuka bagasi mobil, ia mengatakan pada Ian mungkin itulah pertemuan terakhir mereka. Lantaran Dita suka bercanda, tak ada yang menganggapnya serius. Ternyata, ucapannya terbukti.

Hari itu, dini hari Dita berangkat ke Papua dan hari Minggu barulah Dita mulai bertugas. Ternyata, baru hari pertama, kecelakaan itu terjadi. Aku ingat, saat Lebaran lalu ia berulangkali mengajakku umrah bersama papanya, April mendatang. Bulan itu aku memang berulangtahun. Di rumah, ia sering jahil pada dua adiknya. Ia juga selalu berusaha menyenangkan orang lain. Tiap pulang dari tugas, ia tak pernah lupa membawa oleh-oleh untuk kami yang di rumah, antara lain batu akik untuk papanya. Abon gulung tak pernah lupa ia bawa tiap pulang dari Papua.

Tak pernah ia pulang tanpa oleh-oleh, meski sudah kularang. Kini, tak ada lagi Dita yang selalu meramaikan suasana. Rencana pernikahan Dita dan Ian dalam 4-5 tahun mendatang pun kandas sudah. April tahun depan, insya Allah aku akan melaksanakan pesannya untuk berumrah, sekaligus mengumrahkannya. Saat masih banyak tamu di rumah, hatiku memang terhibur. Tapi ketika rumah kembali sepi, tak tahan rasanya menanggung kepedihan. Masih jelas terngiang di telingaku ia berteriak memanggilku karena sudah sangat lapar.

Aku hanya bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini. Meski kami sangat menyayanginya, Tuhan lebih menyayanginya sehingga ia diambil lebih dulu. Aku tahu semua yang hidup akan kembali pada-Nya. Kalau dibilang ikhlas, memang mulutku mengucapkan kata itu. Tapi di hati, rasanya sangat berat melepas Dita. Bagaimana pun, aku yang melahirkan dan membesarkannya. Apalagi, kami sudah seperti teman saking akrabnya. Sekarang, kuanggap saja ia sedang terbang. Hanya saja, kali ini aku tak tahu kapan ia pulang. Kini ia terbang selamanya…

Hasuna Daylailatu