Curhat Ibunda Pramugari Trigana Air

By nova.id, Minggu, 6 September 2015 | 06:51 WIB
Orang Tua Dita Amelia Kurniawan, Pramugari Trigana AIr. (Foto: Hasuna / NOVA) (nova.id)

Sedianya, 28 Agustus lalu, Dita pulang ke rumah kami di Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara seusai bertugas selama dua minggu di Papua. Ya, tanggal 14 Agustus silam ia memang berangkat ke Papua untuk bertugas. Sudah sejak November 2012, anak sulungku ini bekerja sebagai pramugari di Trigana Air. Kebanyakan tugasnya memang di Indonesia Timur, antara lain Pangkalan Bun, Sentani, Berau, dan sebagainya.

Nah, biasanya, kalau sedang berada di rumah, Dita menghabiskan waktu bersamaku, ke mana pun. Pergi ke salon, mal, atau makan, selalu bersamaku. Atau, kalau sedang ingin di rumah, kami karaokean bersama. Biasanya kami juga pergi bersama Ardiansyah, kekasihnya, dan ibunya yang biasa kusapa Mama Fera. Namun, itu semua tak mungkin lagi, sejak pesawat yang ia awaki jatuh di Pegunungan Bintang, Papua, sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

Harusnya, pesawat yang berangkat dari Sentani pada pukul 14.22 WIT dan mengangkut 49 penumpang itu mendarat di Bandara Oksibil pukul 15.04 WIT. Aku sendiri baru mengetahuinya ketika hendak berangkat ke Universitas Jakarta (Unija) untuk mengurus berkas kuliah Dita, hari itu. Sejak pagi, mau berangkat rasanya agak malas. Aku memilih mengecek status Dita di akun Path miliknya.

Biasanya, dia memang menulis tentang keberadaannya lewat status di Path, misalnya dia sudah berada di Sentani atau dia hendak terbang. Dia sendiri selalu rajin memberitahuku setiap kali hendak terbang atau setelah mendarat. Jadi, tak ada perasaan aneh dalam hatiku hari itu. Setelah cukup lama menunggu taksi karena kendaraan Dita sedang di bengkel, aku langsung menuju apartemen di kawasan Kalibata, tempat Mama Fera tinggal bersama anak-anaknya.

Mama Fera dan kedua anaknya, Ian (panggilan Adiansyah - Red.), dan Maya, memang berencana akan mengantarku ke kampus, karena lokasinya dekat. Sampai di lobi apartemen, aku agak heran ketika Mama Fera menyuruhku naik. Tumben belum siap, karena kampus akan tutup tak sampai satu jam lagi, sore itu. Tanpa curiga, aku naik ke tempatnya tinggal. Di sana, ada beberapa teman Dita. Tak berapa lama, ponsel di tasku berbunyi. Maya langsung mengambilnya dan menjawab telepon di kamar.

Mengharap Mukjizat

Aku tetap diminta duduk. Perasaanku mulai tak enak, tapi pertanyaanku hanya dijawab, “Tidak ada apa-apa.” Tak berapa lama, Maya dan Ian keluar dari kamar langsung memelukku. Aku bingung. Sambil menangis, mereka mengatakan pesawat Dita hilang kontak. Mereka tak berani memberitahuku sebelumnya karena belum ada kepastian, menunggu kabar dari Trigana Air. Rupanya, saat ponselku berbunyi itu, pihak Trigana Air yang menelepon untuk memberitahuku.

Meski sangat syok, saat itu juga aku dan keluarga Mama Fera berangkat ke kantor pusat Trigana. Pihak Trigana menenangkan kami sambil berharap tidak ada apa-apa. Kami sendiri berharap ada mukjizat dari Allah. Sampai malam kami menunggu, tapi tetap belum ada kabar. Suamiku, Teddy Kurniawan (46) yang saat itu tengah bekerja, dan adikku langsung menyusul. Sambil terus berdoa agar Dita selamat, hatiku tak karuan rasanya. Selasa (18/8), aku, suamiku, adikku, Ian, kakaknya, dan Mama Fera berangkat ke Papua untuk mencari kepastian.

Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Pesawat yang Dita tumpangi jatuh, seluruh penumpang dan kru pesawat meninggal. Meski keluargaku dan keluarga Ian sudah tahu apa yang terjadi, tetap saja aku mengharapkan mukjizat Tuhan, apa pun kondisinya. Namun, begitu melihat namanya dalam daftar nama korban, aku langsung tahu itu anakku. Meski sedih luar biasa karena anakku tak bisa selamat, Aku bersyukur saat jenazahnya ditemukan, Dita dalam keadaan utuh.

Bahkan, semua yang melekat di tubuhnya termasuk pakaian, kalung, gelang, dan lainnya pun tetap ada dan dikembalikan padaku. Jumat, kami langsung menjalani tes DNA dan lainnya. Setelah jenazah Dita dimandikan, sore itu juga kami bisa mendapat tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Keinginanku untuk bisa satu pesawat dengan jenazah Dita terkabul, padahal sedianya jenazah baru akan diterbangkan esok paginya.

Sabtu tanggal 22 Augstus, selepas Zuhur, jenazah Dita dimakamkan. Alhamdulillah, semua proses ini dimudahkan Allah, sehingga kami hanya dua hari di Papua. Bagiku, itulah kebesaran Allah. Mungkin ini tak lepas dari bakti Dita terhadap kami orangtuanya. Itu yang dia buktikan bahwa dia berhasil membuat kedua orangtuanya bangga sampai akhir hidupnya, seperti yang ia inginkan selama ini. Ia juga ingin kami tak diremehkan orang lain.

Jadi Feminin

Semasa hidupnya Dita tidak pernah neko-neko dan punya banyak teman, sampai-sampai banyak yang tak kukenal yang datang ke rumah dan pemakaman. Hanya saja, ada satu yang masih mengganjal di hatiku, mengapa dia harus pergi secepat itu? Padahal, aku belum puas bersamanya. Setelah bekerja sebagai pramugari, kami hanya bertemu hanya sebentar saja tiap kali libur, paling lama lima hari. Umurnya juga masih sangat muda dan cita-citanya untuk menjadi notaris belum tercapai.

Bahkan, memulai kuliahnya saja belum, karena seharusnya sebentar lagi ia kuliah di Jurusan Hukum. Aku ingat, dia ingin kelak memiliki gelar sarjana di belakang namanya. Dia memilih kampus ini karena jadwal kuliahnya bisa disesuaikan dengan jadwal kerjanya. Dita sendiri menjadi pramugari selepas SMA. Sebetulnya tak ada pemikiran ke sana. Ia ingin kuliah setelah lulus SMA agar bisa menyenangkan dan membantuku.

Hanya saja, kukatakan padanya bahwa ia cantik, mengapa tak mencoba menjadi pramugari. Ia sempat ragu apakah bisa, Dita lalu mendaftar ke sekolah pramugari Caraka Nusantara di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tiga bulan menjalani pendidikan, ia yang sebelumnya cukup tomboi, berubah jadi feminin. Setelah lulus dan melamar ke beberapa maskapai, ia diterima di Trigana Air.

Sebetulnya, selama tiga tahun bekerja, pasti ada peristiwa berisiko tinggi yang dialaminya. Namun, ia tak pernah menceritakan hal itu padaku maupun papanya karena tak ingin membuat kami cemas. Kalau kukonfirmasi padanya, ia malah menyuruhku tak usah memikirkan hal itu. Setiap kali hendak berangkat terbang, ia selalu bilang, meski di rumah ia adalah anak mama dan papanya, di luar ia milik orang banyak.

Kalau kutanya apakah ia pernah takut ketika terbang? Ia menenangkan hatiku. Katanya, mau di mana pun, meski sedang duduk, kalau sudah waktunya, pasti ajal akan datang. Kadang, kalau sudah datang “tuanya” ia sering mengatakan nasihat-nasihat seperti itu. Tak kusangka, Dita yang semasa kecilnya cengeng tiap kali diledekin, kini jadi mandiri dan dewasa. Walaupun, kalau sudah kumat manjanya, dia akan sangat manja padaku.

Baca juga: Tiga Balita Ikut Jadi Korban Jatuhnya Pesawat Trigana Air

Aku tak tahu apakah peristiwa yang terjadi tiga minggu sebelum kejadian bisa disebut firasat atau bukan. Saat itu, aku, Dita, Ian, dan Mama Fera sedang makan bersama di sebuah tempat makan. Ia memesan banyak makanan, karena Dita memang sulit menahan lapar. Ia juga menggemari bakso dansteak. Diledekin nanti bisa gendut, ia cuek saja. Kami tertawa melihatnya. Ia bilang, “Udah, jangan ketawa-ketawa. Nanti giliran pesawat jatuh aja, pada nangis.” Aku langsung melarangnya bicara seperti itu. Dia jawab, cuma bercanda.

Dita memang senangngocol, kadang sampai masuk ke kulkas segala. Nah, dua hari sebelum kejadian, ia diantar ke Bandara Soekarno-Hatta olehku, Ian, dan Mama Fera. Saat berpapasan dengan tetangga, banyak yang bilang ia terlihat lebih cantik dari biasanya. Di mobil, kami bercanda, nyanyi, dan joget bareng. Sampai bandara, sambil membuka bagasi mobil, ia mengatakan pada Ian mungkin itulah pertemuan terakhir mereka. Lantaran Dita suka bercanda, tak ada yang menganggapnya serius. Ternyata, ucapannya terbukti.

Hari itu, dini hari Dita berangkat ke Papua dan hari Minggu barulah Dita mulai bertugas. Ternyata, baru hari pertama, kecelakaan itu terjadi. Aku ingat, saat Lebaran lalu ia berulangkali mengajakku umrah bersama papanya, April mendatang. Bulan itu aku memang berulangtahun. Di rumah, ia sering jahil pada dua adiknya. Ia juga selalu berusaha menyenangkan orang lain. Tiap pulang dari tugas, ia tak pernah lupa membawa oleh-oleh untuk kami yang di rumah, antara lain batu akik untuk papanya. Abon gulung tak pernah lupa ia bawa tiap pulang dari Papua.

Tak pernah ia pulang tanpa oleh-oleh, meski sudah kularang. Kini, tak ada lagi Dita yang selalu meramaikan suasana. Rencana pernikahan Dita dan Ian dalam 4-5 tahun mendatang pun kandas sudah. April tahun depan, insya Allah aku akan melaksanakan pesannya untuk berumrah, sekaligus mengumrahkannya. Saat masih banyak tamu di rumah, hatiku memang terhibur. Tapi ketika rumah kembali sepi, tak tahan rasanya menanggung kepedihan. Masih jelas terngiang di telingaku ia berteriak memanggilku karena sudah sangat lapar.

Aku hanya bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini. Meski kami sangat menyayanginya, Tuhan lebih menyayanginya sehingga ia diambil lebih dulu. Aku tahu semua yang hidup akan kembali pada-Nya. Kalau dibilang ikhlas, memang mulutku mengucapkan kata itu. Tapi di hati, rasanya sangat berat melepas Dita. Bagaimana pun, aku yang melahirkan dan membesarkannya. Apalagi, kami sudah seperti teman saking akrabnya. Sekarang, kuanggap saja ia sedang terbang. Hanya saja, kali ini aku tak tahu kapan ia pulang. Kini ia terbang selamanya…

Hasuna Daylailatu