Mereka yang Berinvestasi, Rela Turunkan Standar Hidup

By nova.id, Sabtu, 5 September 2015 | 05:50 WIB
Dinda Derdameisya (Foto: Dok Pribadi) (nova.id)

Investasi Paralel  

Dulu, Dinda Derdameisya (34) mengaku tak tahu apa itu investasi dan bagaimana cara melakukannya. “Itu ekonomi, bukan bidang saya,” kilah perempuan yang sehari-hari berpraktik sebagai dokter kandungan ini. Namun, Dinda yang sejak kecil senang menabung ini mulai mencari-cari cara menabung yang tepat setelah suaminya lulus sekolah. “Suami saya, Mohammad Johan, juga dokter, waktu itu dia baru lulus mengambil spesialisasi bedah,” tuturnya.

Meski suaminya sempat tak setuju, keinginan Dinda tak bisa ditunda. Kebetulan, kakaknya berteman dengan seorang perencana keuangan. Mulai 2011 itulah, Dinda berinvestasi dengan bimbingan teman kakaknya tersebut. “Saya diajari dari awal, apa tujuan yang saya inginkan? Kebetulan saya waktu itu sedang hamil, jadi saya memilih pendidikan anak sebagai tujuan. Sebab, ternyata itulah yang paling tinggi biayanya dibanding kebutuhan yang lain.”

Dinda memilih reksadana sebagai cara mencapai tujuan. Ia lalu jadi tahu, bahwa reksadana memiliki beberapa macam risiko, mulai dari yang ringan sampai tinggi. Uang Rp20 juta yang ia jadikan modal awal investasi langsung dibagi menjadi lima, sesuai jenjang sekolah yang akan ditempuh anaknya kelak, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah. Untuk biaya masuk TK, Dinda memilih reksadana yang risikonya paling rendah.

Sedangkan untuk biaya kuliah yang notabene baru akan dibutuhkan belasan tahun lagi, Dinda mengambil reksadana yang risikonya paling tinggi. Sehingga, ia tak khawatir akan nilainya yang fluktuatif. Setiap bulan ia menabung di reksadana. Lantaran penghasilan Dinda dan suaminya besarnya tak selalu sama setiap bulannya, jumlah uang yang ia tanamkan juga tak selalu sama. Uang itu lalu dibagi-bagi ke lima reksadana.

Setiap bulan Dinda memantau lewat internet. “Kalau ada keuntungannya, langsung saya ambil dan simpan. Kalau jumlah keuntungan sudah mencapai Rp10 juta, saya belikan logam mulia. Logam mulia disimpan saja dan bisa dijadikan tambahan kalau biaya sekolahnya kurang. Jadi, investasinya paralel,” papar Dinda yang lalu jadi tahu bagaimana memilih reksadana yang bagus. Nah, uang hasil investasinya mulai ia nikmati ketika ia mendaftarkan anaknya masuk TK tahun ini.

“Di saat yang lainnya bingung karena uang sekolah mahal, saya tinggal mengambil dari reksadana yang untuk TK. Kaget juga, ternyata ada, ya, uangnya. Jadi, uang yang ada bisa untuk yang lainnya lagi,” ujarnya sambil terkekeh. Ia akui, sempat kesulitan menabung karena waktu itu ia sedang meneruskan kuliah mengambil spesialisasi kandungan, sementara suaminya baru lulus kuliah. “Tapi, saya paksakan juga mengisi reksadana, meskipun per bulan enggak sampai Rp1 juta.”

Menurunkan Standar Hidup

Seiring membaiknya kondisi finansial keluarganya, Dinda dan suaminya kembali berinvestasi, hanya saja dalam bentuk properti. Sebelum berinvestasi, keduanya sempat memiliki sebuah apartemen, tapi kini ia memilih untuk menjual properti tersebut. Uang hasil penjualan digunakan sebagai uang muka pembelian rumah. “Sisanya dicicil lewat KPR. Baru satu tahun ini kami membelinya. Rumah itu lalu dikontrakkan, hasilnya digunakan untuk menambah uang pembayaran cicilan rumah.

Kini, Dinda melirik apartemen lagi untuk dijadikan investasi. Lantaran sudah memiliki KTA, Dinda dan suaminya mencari pengembang yang bisa memberikan keringanan dalam pembayaran uang muka. “Apartemennya sendiri belum dibangun. Kebetulan, kakak saya bekerja di bidang properti, jadi tahu pengembang mana yang bagus. Saya bisa membayar uang muka dengan cara dicicil selama tiga tahun. Nanti kalau sudah lunas cicilannya, saya masih belum tahu apakah apartemennya mau dijual atau tidak,” lanjutnya.

Diakuinya, pembelian apartemen ini cukup nekat baginya. “Biasanya meski sudah tidak lagi dibimbing perencana keuangan, kalau mau beli apa-apa saya tanya dulu ke dia. Tapi yang apartemen ini setelah dibeli baru saya cerita. Sebetulnya, dulu saya diberitahu sebaiknya beli rumah yang didirikan di atas tanah dibanding apartemen. Tapi, enggak apa-apalah,” tuturnya. Ia pun berbagi tugas dengan suaminya. Sang suami bertugas mencicil rumah sedangkan Dinda mencicil KPR. Sementara, reksadana jadi tanggungjawab berdua.

Total pengeluaran yang harus dikeluarkan Dinda dan suaminya untuk berinvestasi besarnya Rp40 juta per bulan atau sekitar 30-40 persen dari penghasilan bulanan mereka. Meski sebenarnya jumlah yang diinvestasikan jauh lebih besar dari yang disarankan yaitu 10 persen dari penghasilan, Dinda dan suaminya mantap menjalaninya. “Kalau enggak dipaksain, kami enggak punya apa-apa. Lagipula, anak kami baru satu dan saya optimis akan pekerjaan saya.”