Investasi Paralel
Dulu, Dinda Derdameisya (34) mengaku tak tahu apa itu investasi dan bagaimana cara melakukannya. “Itu ekonomi, bukan bidang saya,” kilah perempuan yang sehari-hari berpraktik sebagai dokter kandungan ini. Namun, Dinda yang sejak kecil senang menabung ini mulai mencari-cari cara menabung yang tepat setelah suaminya lulus sekolah. “Suami saya, Mohammad Johan, juga dokter, waktu itu dia baru lulus mengambil spesialisasi bedah,” tuturnya.
Meski suaminya sempat tak setuju, keinginan Dinda tak bisa ditunda. Kebetulan, kakaknya berteman dengan seorang perencana keuangan. Mulai 2011 itulah, Dinda berinvestasi dengan bimbingan teman kakaknya tersebut. “Saya diajari dari awal, apa tujuan yang saya inginkan? Kebetulan saya waktu itu sedang hamil, jadi saya memilih pendidikan anak sebagai tujuan. Sebab, ternyata itulah yang paling tinggi biayanya dibanding kebutuhan yang lain.”
Dinda memilih reksadana sebagai cara mencapai tujuan. Ia lalu jadi tahu, bahwa reksadana memiliki beberapa macam risiko, mulai dari yang ringan sampai tinggi. Uang Rp20 juta yang ia jadikan modal awal investasi langsung dibagi menjadi lima, sesuai jenjang sekolah yang akan ditempuh anaknya kelak, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah. Untuk biaya masuk TK, Dinda memilih reksadana yang risikonya paling rendah.
Sedangkan untuk biaya kuliah yang notabene baru akan dibutuhkan belasan tahun lagi, Dinda mengambil reksadana yang risikonya paling tinggi. Sehingga, ia tak khawatir akan nilainya yang fluktuatif. Setiap bulan ia menabung di reksadana. Lantaran penghasilan Dinda dan suaminya besarnya tak selalu sama setiap bulannya, jumlah uang yang ia tanamkan juga tak selalu sama. Uang itu lalu dibagi-bagi ke lima reksadana.
Setiap bulan Dinda memantau lewat internet. “Kalau ada keuntungannya, langsung saya ambil dan simpan. Kalau jumlah keuntungan sudah mencapai Rp10 juta, saya belikan logam mulia. Logam mulia disimpan saja dan bisa dijadikan tambahan kalau biaya sekolahnya kurang. Jadi, investasinya paralel,” papar Dinda yang lalu jadi tahu bagaimana memilih reksadana yang bagus. Nah, uang hasil investasinya mulai ia nikmati ketika ia mendaftarkan anaknya masuk TK tahun ini.
“Di saat yang lainnya bingung karena uang sekolah mahal, saya tinggal mengambil dari reksadana yang untuk TK. Kaget juga, ternyata ada, ya, uangnya. Jadi, uang yang ada bisa untuk yang lainnya lagi,” ujarnya sambil terkekeh. Ia akui, sempat kesulitan menabung karena waktu itu ia sedang meneruskan kuliah mengambil spesialisasi kandungan, sementara suaminya baru lulus kuliah. “Tapi, saya paksakan juga mengisi reksadana, meskipun per bulan enggak sampai Rp1 juta.”
Menurunkan Standar Hidup
Seiring membaiknya kondisi finansial keluarganya, Dinda dan suaminya kembali berinvestasi, hanya saja dalam bentuk properti. Sebelum berinvestasi, keduanya sempat memiliki sebuah apartemen, tapi kini ia memilih untuk menjual properti tersebut. Uang hasil penjualan digunakan sebagai uang muka pembelian rumah. “Sisanya dicicil lewat KPR. Baru satu tahun ini kami membelinya. Rumah itu lalu dikontrakkan, hasilnya digunakan untuk menambah uang pembayaran cicilan rumah.
Kini, Dinda melirik apartemen lagi untuk dijadikan investasi. Lantaran sudah memiliki KTA, Dinda dan suaminya mencari pengembang yang bisa memberikan keringanan dalam pembayaran uang muka. “Apartemennya sendiri belum dibangun. Kebetulan, kakak saya bekerja di bidang properti, jadi tahu pengembang mana yang bagus. Saya bisa membayar uang muka dengan cara dicicil selama tiga tahun. Nanti kalau sudah lunas cicilannya, saya masih belum tahu apakah apartemennya mau dijual atau tidak,” lanjutnya.
Diakuinya, pembelian apartemen ini cukup nekat baginya. “Biasanya meski sudah tidak lagi dibimbing perencana keuangan, kalau mau beli apa-apa saya tanya dulu ke dia. Tapi yang apartemen ini setelah dibeli baru saya cerita. Sebetulnya, dulu saya diberitahu sebaiknya beli rumah yang didirikan di atas tanah dibanding apartemen. Tapi, enggak apa-apalah,” tuturnya. Ia pun berbagi tugas dengan suaminya. Sang suami bertugas mencicil rumah sedangkan Dinda mencicil KPR. Sementara, reksadana jadi tanggungjawab berdua.
Total pengeluaran yang harus dikeluarkan Dinda dan suaminya untuk berinvestasi besarnya Rp40 juta per bulan atau sekitar 30-40 persen dari penghasilan bulanan mereka. Meski sebenarnya jumlah yang diinvestasikan jauh lebih besar dari yang disarankan yaitu 10 persen dari penghasilan, Dinda dan suaminya mantap menjalaninya. “Kalau enggak dipaksain, kami enggak punya apa-apa. Lagipula, anak kami baru satu dan saya optimis akan pekerjaan saya.”
Sebetulnya, imbuhnya, berapa pun penghasilan seseorang terutama bagi yang tinggal di Jakarta seperti dirinya, bisa berinvestasi, menyesuaikan besarnya penghasilan. Ia menyadari, makin besar penghasilan seseorang, makin naik pula standar hidupnya. Ia sendiri, meski sebetulnya bisa melakukan hal itu dan bisa menikmati steak yang jadi kegemarannya kapan pun, memilih untuk menurunkan standar hidupnya demi bisa berinvestasi.
“Enggak sampai enggak bisa makan, sih. Hanya saja, daripada makan mahal, mending saya makan di foodcourt, misalnya. Kebetulan, saya juga bukan orang yang gemar beli baju atau barang konsumtif lainnya. Banyak orang Jakarta yang gengsinya tinggi, sehingga biaya hidupnya juga mahal. Kalau mau menurunkan standar hidup, pasti mereka bisa berinvestasi,” paparnya. Dulu, ia pernah ditertawakan suami ketika berinvestasi hanya Rp500.000 per bulan. “Lebih baik begitu daripada nanti start-nya keburu kami tua. Sekarang dia malah mendukung.” Miliki Mental Kaya
Psikolog ternama ibukota, Roslina Verauli tak ingin ketinggalan untuk berinvestasi. Bahkan, Vera panggilan akrab ibu dua anak ini menelurkan buku yang berjudul Discovering Your Black Box, Menuju Kaya dengan Pendekatan Psikologi. Secara gamblang, Vera menuliskan properti sebagai pilihan investasi yang dilakukannya. “Saya memang secara pribadi lebih terpikat berinvestasi dalam bentuk properti karena ada banyak keuntungan yang didapatkan,” tulisnya.
Satu hal yang diyakini oleh Vera bahwa setiap investasi tidak ada yang instan. “Tidak pernah ada uang yang jatuh dari langit seperti hujan, semuanya membutuhkan proses dan usaha,” sahut Vera yang memiliki klinik konsultasi premium di kawasan Sudirman.
Terbukti investasi properti yang dilakukan oleh Vera memang membuahkan hasil. “Investasi dalam bentuk properti yang saya pilih tidak hanya mendatangkan uang sewa senilai 10% saat harga beli pertama kali, tetapi saya juga memperoleh keuntungan berupa kenaikan nilai aset properti itu sendiri setidaknya 25% hingga 30% pertahun,” ungkapnya.
Ditambahkan Vera, saat membeli properti ekstra selain rumah tinggal di tahun pertama pernikahannya, ia tidak pernah membayangkan akan mampu membeli lebih banyak properti. Hasilnya, kini ia bahkan dalam setiap tahun rata-rata berinvestasi untuk setiap properti ekstra. “Di tahun pertama terasa berat begitu pun di tahun kedua. Namun begitu menyadari nilai investasi yang terus berkembang, saya seperti ketagihan. Mengusahakan membeli properti ekstra yang kedua di tahun ketiga lantas berkembang, yang ketiga, keempat dan kelima di tahun keempat dan kelima,” jawabnya.
Menurut Vera, berinvestasi dalam bentuk properti akan memberikan beberapa kemudahan. Ia juga memberikan kiat bagi yang tergolong baru bermain investasi porperti, mulai dari memilih pengembang properti yang sudah memiliki nama kemudian inspeksi hingga ke lokasi dan memastikan lokasi apartemen atau rumah yang hendak dibangun jelas. “Beberapa pertanyaan seperti status tanah, izin mendirikan bangunan, strata title (sertifikasi kepemilikan untuk apartemen) atau sertifikat hak milik (SHM) untuk rumah wajib dicek,” tulisnya.
Vera juga meyakinkan bahwa semua yang ia capai melalui proses mengelola black box yang menumbuhkan “Si Mental Miskin” dalam dirinya untuk tumbuh dan mengubahnya menjadi “Si Mental Kaya”. “Miliki mental kaya. Kelola pendapatan Anda. Hidup lebih sederhana dan hasilkan lebih banyak pendapatan dari investasi yang tepat agar kekayaan Anda kelak bisa membantu untuk berbuat lebih banyak bagi sekitar,” tutupnya.
Perhatikan Rambu-Rambu
Menurut Fauziah Arsiyanti SE, MM, ChFC dari Fahima Advisory, sebelum berinvestasi, sebaiknya perhatikan juga rambu-rambu investasi, antara lain jangan mudah tergoda bujukan investasi yang menawarkan bunga sangat tinggi dalam waktu singkat, karena biasanya itu bohong. “Dalam dunia usaha, reputasi buruk pemiliknya akan cepat tersebar, makanya teliti dulu dan harus banyak cari informasi dulu sebelumnya. Kalau tidak yakin, lebih baik jangan dan cari yang aman saja,” tegas Zizi.
Selain itu, pilihlah produk-produk keuangan yang dijamin pemerintah. Zizi menyarankan agar kita lebih pandai mencermati investasi. Bila tertarik pada sebuah reksadana, buka situs Bapepam dan cari tahu apakah namanya terdaftar di sana, bank yang menjadi agen penjualnya bereputasi bagus atau tidak, dan sebagainya. “Kalau ada dan bank penjualnya bagus, bolehlah dibeli,” ujarnya.
Bagaimana bila kita menanamkan investasi pada bisnis milik teman atau saudara? Zizi tetap mengingatkan akan pentingnya riset, meski kita mengenal pemiliknya. “Minta laporan keuangannya, daftar pelanggan, atau daftar supplier. Kalau pembayaran ke supplier lancar, kemungkinan besar usaha memang berjalan bagus. Pastikan juga kita tahu apa yang harus dilakukan sebagai partner, misalnya ikut rapat mingguan dan rutin mengecek laporan keuangan,” tandasnya.
Bisa juga kita membantu di bagian yang mampu kita tangani. Jangan lupa, yang paling penting adalah membuat kontrak tertulis soal tugas dan tanggungjawab masing-masing. Sehingga, ketika kelak terjadi masalah, bisa dikembalikan ke komitmen awal. Cara ini, menurut Zizi, penting untuk menjaga hubungan baik
Plus Minus Properti
Selain berbentuk tanah, investasi yang dilakukan orang dalam bidang properti antara lain rumah, ruko, dan apartemen. Meski disebut Zizi ini sah-sah saja, namun harus ada syarat yang dipenuhi sebelum berinvestasi di bidang properti, terutama apartemen, yakni harus memiliki rumah di tanah alias menginjak bumi. Sebab, harga tanah terus naik.
“Bandingkan dengan Singapura di mana harga tanahnya sangat mahal karena lahan sudah habis. Itu sebabnya, yang punya tanah di sana jadi sangat kaya. Nah, sebelum beli apartemen atau ruko, miliki dulu tanah dan rumah,” ujarnya. Membeli apartemen atau ruko, imbuhnya, juga harus pandai melihat peluang. Jangan segan bertanya pada kenalan atau orang yang tinggal atau punya bisnis di sana.
Cari tahu siapa pengembangnya dan bagaimana pengalaman orang menjual properti di sana. “Sebab, ada apartemen yang harganya mahal tapi harga sewanya tidak terlalu bagus. Ada pula apartemen yang harganya biasa tapi harga sewanya cepat naik. Yang seperti ini bagus buat orang yang ingin mendapatkan tambahan uang bulanan secara tetap,” imbuhnya.
Untuk berinvestasi ruko pun, perlu dilihat apakah ruko-ruko di sekitarnya dipakai juga untuk usaha. Sebab, terkadang ruko hanya dibeli para pemain properti untuk dijual beli, sehingga komplek ruko itu terbilang sepi. “Memang butuh riset yang cukup lama untuk membeli properti, agar kita tidak rugi,” tutur Zizi sambil menambahkan, sebuah properti menguntungkan atau tidak tergantung bisa dilihat antara lain dari harga beli dan lokasinya.
Investasi Bisnis
Salah satu investasi yang bisa dilakukan sejak dini agar pensiun aman secara finansial, menurut Zizi adalah usaha. Selain modal yang dibutuhkan bisa relatif kecil tergantung jenis usahanya, hasil yang didapat bisa besar dan usaha bisa terus berkembang. Berbisnis, menurut Zizi, merupakan wujud riil tabungan yang lebih baik. Namun, seperti juga menabung dalam bentuk lain, berbisnis juga sebaiknya dimulai sejak dini.
Saat usia masih muda dan keluarga baru terbentuk, biasanya orang memang melakukan skala prioritas untuk berbagai kebutuhannya, misalnya untuk cicilan rumah, sekolah anak, cicilan kendaraan, dan sebagainya. “Nah, ketika kondisi keuangan sudah lebih settled karena sudah tahu biaya yang diperlukan dan bagaimana ritme pekerjaan, pelan-pelan kembangkan sesuatu yang menjadi hobi kita. Misalnya, memasak, mendesain baju, membuat kue, berdagang, atau apa pun yang kita rasa ada bakat kita di sana,” papar Zizi
Seiring waktu, imbuhnya, kita akan mengetahui seluk beluk usaha kita, termasuk jatuh bangun, risiko, peluang, dan bagaimana mengelola keuangan bisnis kita. Sehingga, langkah berbisnis pun menjadi lebih matang dan mapan. “Diharapkan, ketika usia pensiun datang, usaha ini sudah mulai kokoh. Bandingkan bila Anda baru memulai usaha setelah pensiun,” tutur perempuan berjilbab ini.
Memulai bisnis menjelang atau setelah pensiun tidak disarankannya, karena pada saat itu energi kita sudah habis. “Kemampuan berpikir mungkin masih bagus dan pengalaman kerja bertahun-tahun di kantor belum tentu bisa langsung diterapkan saat usaha. Apalagi, kalau bidangnya jauh berbeda. Kemungkinan besar akan gagap menghadapinya.”
Itu sebabnya, banyak orang yang bisnisnya gagal ketika memulainya setelah pensiun dan uang pensiunnya habis akibat hal ini. Nah, kalau tak punya waktu untuk berbisnis, Zizi menyarankan bisa juga kita bisa berpartner dengan orang lain. Dalam hal ini, kita bisa berperan di bagian pemasaran dan promosi. “Kita bisa menjadikan teman-teman yang kita punya untuk networking atau membantu membuat laporan keuangan,” ujarnya.
Soal modal, menurutnya, sebisa mungkin tidak berutang. Sebab, “Kita baru mulai belajar, jangan ditambahi beban dengan harus membayar utang. Sebaiknya, gunakan modal semampunya saja. Kalau memang bisanya berbisnis yang kita sukai dengan modal kecil, tidak apa-apa. Yang penting, kita pelajari ilmunya, jatuh bangunnya, cara menghadapi pelanggan, dan lainnya. Belum untung juga tidak apa-apa, yang penting belajar dulu,” tandasnya.
Dengan demikian, cara pikir dan usaha kita bisa dilakukan secara realistis. Setelah rencana usaha matang, barulah memulainya. Nah, seiring waktu ketika ada pemasukan dari usaha tersebut, tidak semuanya dihabiskan. Ia menyarankan sepertiga bagian untuk biaya operasional, sepertiga untuk ditabung, dan sepertiga sisanya untuk pengembangan usaha. Misalnya, bila kita berbisnis katering, maka pengembangan usahanya antara lain membeli perlengkapan yang menunjang, antara lain panci presto, kompor, dan sebagainya.
Dengan cara seperti ini, diharapkan kita bisa berkembang secara mandiri. “Orang berpikir bahwa ketika dia meminjam uang, itu adalah uangnya, padahal itu uang yang harus dikembalikan plus bunganya. Sementara, kalau itu uang sendiri, dia akan berpikir lebih hati-hati ketika menggunakannya. Akan lebih baik kalau usaha itu berkembang sesuai kemampuannya sendiri. Step by step seperti itu yang penting untuk dijalani sejak dini.”
Hasuna Daylailatu, Swita A Hapsari