Yuniana Oktoviati, Merealisasikan Sedekah Yang Tertunda (1)

By nova.id, Minggu, 18 Oktober 2015 | 09:29 WIB
Yuniana Oktoviati (nova.id)

Beberapa minggu belakangan, wajah Yuniana Oktoviani (34) tertayang di stasiun televisi membintangi iklan air mineral. Sehari-hari, ibu tiga anak ini bukanlah model iklan, melainkan pengusaha batu alam. Sedekah nasi tiap Jumat-lah yang mengantarkannya muncul di teve tiap hari. Bagaimana perjuangannya membesarkan bisnis batu alamnya? Apa pula tujuannya membuka Warung Sodaqoh? Bila Anda melintas di Titik Nol kota Yogyakarta setiap hari Jumat, maka Anda akan menemui sebuah warung nasi sederhana. Warung nasi ini adalah warung nasi gratis yang saya sediakan khusus untuk kaum duafa. Buka mulai jam 11.00 hingga jam 13.00, ini merupakan warung nasi gratis kelima yang saya buka sejak September tahun 2014 lalu.

Warung pertama di depan rumah saya di Jl. Gedong Kuning, Yogyakarta. Dari lima titik, hanya dua yang asli milik saya. Selebihnya ada yang milik teman dan saudara. Ada yang di Yogya maupun Lampung. Saya sebatas sebagai konsultannya saja.

Warung nasi gratis itu saya namai Warung Sodaqoh. Inilah yang kemudian membawa saya menjadi bintang iklan air mineral. Saya sendiri tidak pernah membayangkan memperoleh dampak positif dari warung itu. Bahkan, saya saya sempat merasa tak percaya saat didatangi tim dari perusahaan air mineral tersebut.

Kenapa? Bicara soal kebaikan dan sedekah, sebenarnya belum banyak yang saya perbuat. Yang saya lakukan itu sekadar merealisasikan niatan saya bersedekah yang selalu tertunda.

Bukan Ide Orisinal

Jujur, Warung Sodaqoh bagi kaum duafa bukan ide orisinal saya. Semua berawal tahun lalu ketika seorang teman men-share artikel ke ponsel saya soal warung sodaqoh di Pekalongan. Dari sanalah timbul ide untuk segera merealisasikan kegiatan serupa. Kenapa? Sudah lama saya ingin sekali bersedekah tetapi niatan itu selalu tertunda. Kadang karena aktivitas bisnis saya ke luar negeri, atau kelamaan berpikir.

Kala itu saya maunya memberikan sedikit sodaqoh ke panti asuhan atau masjid dekat rumah. Tapi saya lihat sudah banyak yang melakukannya. Cari-cari panti asuhan lagi, rata-rata donaturnya sudah banyak. Kadang keuangannya juga tidak transparan. Yah begitulah, jadi niatan saya bersedekah selalu tertunda. Meski saban tahun saya juga sudah membagi zakat, tapi saya ingin lebih dari itu.

Jadi, ketika ada kabar soal warung sodaqoh itulah, saya langsung terinspirasi membuka warung serupa di depan rumah. Sebelum hari H, saya sudah bagikan leaflet dengan harapan banyak yang butuh makan gratis bersedia hadir. Tapi hari itu warung saya kurang laku. Banyak yang tidak percaya saya membagikan makan secara gratis. Akhirnya sisanya saya bungkus lalu saya bawa ke panti asuhan.

Begitulah, hingga dua bulan berjalan, ada saja nasi yang tersisa. Baru ketika menginjak bulan ketiga banyak warga yang datang. Bahkan ada satu orang yang minta empat hingga enam bungkus. Alasannya akan dibagikan untuk anggota keluarganya. Nah, yang model begini pasti tidak saya beri. Biasanya, saya sarankan anggota keluarganya diajak saja. Kalau saya beri banyak, nanti orang yang datang berikutnya takut tidak kebagian.

Tentu, usaha saya membagikan nasi secara gratis mengundang pujian sekaligus kritikan dari banyak pihak. Kenapa saya tidak mendatangi kaum duafa? Bukankah dengan mendatangi bisa mencegah rasa malu atau rendah diri si penerima?

Jawaban saya adalah, saya mengundang mereka bukan sekadar agar mereka datang dan berkumpul. Melainkan, saya punya tujuan lain. Saya ingin mengedukasi mereka. Dengan berkumpul, kaum duafa akan bertemu dengan sesama duafa lalu mereka bisa saling berbagi rasa, berbagi informasi. Dengan berkumpul, mereka akan merasa bahwa yang susah bukan dia seorang, melainkan banyak orang lain juga, sehingga mungkin bila ada duafa yang putus asa, akan mendapat pencerahan dan timbul rasa optmisme.

Di pihak lain, saya ingin tunjukkan kepada para orang yang kelebihan uang, tapi kurang bersyukur. Kadang kita ini banyak uang tapi bingung mau makan apa? Sementara orang kesusahan bisa makan lauk ayam saja, senyumnya sudah mengembang lebar.