Yuniana Oktoviati, Merealisasikan Sedekah Yang Tertunda (1)

By nova.id, Minggu, 18 Oktober 2015 | 09:29 WIB
Yuniana Oktoviati (nova.id)

Titik Nol

Sukses membuka warung pertama mendorong saudara saya yang punya usaha katering di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, berniat membuka warung serupa. Dari sini saya memberikan arahan-arahan apa yang harus dilakukan.

Saya sendiri juga berusaha keras untuk mendapatkan izin dari Pemkot Yogyakarta agar bisa membuka Warung Sodaqoh di Titik Nol kota Yogyakarta, di depan Istana Gedung Agung. Sayangnya sempat ditolak lantaran di situlah titik kemacetan, terutama bila masa libur panjang tiba. Tapi berkat bantuan teman yang sering membuat acara di sana, akhirnya kesampaianlah hajat saya. Teman saya itulah yang menguruskan izinnya hingga saya bisa membuka warung nasi gratis di situ.

Kenapa saya menginginkan ada di Titik Nol? Karena di Titik Nol itulah banyak kaum duafa berseliweran. Ada pengamen, tukang becak, pemulung dan masyarakat lainnya. Karena itu saya bisa menyediakan 200 – 250 piring nasi per hari dan selalu ludes. Nasi yang kami bagikan masih amat sederhana. Yakni nasi dengan lauk sayur plus ikan atau ayam atau telor, yang saya gilir menunya. Tentunya plus air putih.

Bahagia rasanya bila melihat saudara-saudara kita bisa makan kenyang dan senyumnya terukir lebar. Ada suami-istri datang sembari menggendong bayinya yang masih merah makan bersama. Senang rasanya bisa membantu perut mereka kenyang.

Satu hal yang lucu juga pernah saya jumpai. Yakni tatkala ada orang, mungkin wisatawan, datang minta nasi lalu ingin bayar. Tentu uangnya kami tolak. Ternyata mereka tidak sadar bahwa mereka telah masuk ke warung gratis. Mereka pikir warung kaki lima seperti lainnya. He he he.

Meski berhasil membuka Warung Sodaqoh di Titik Nol, Warung Sodaqoh di depan rumah tetap saya buka di hari Jumat. Untuk menyiapkan nasi plus lauk-pauknya, saya dibantu beberapa karyawan dan tenaga pocokan. Hingga saat ini, jujur, saya masih kesulitan mendapatkan sukarelawan yang mau membagi nasi di lapangan. Dengan banyak tenaga sukarela, tentu saya bisa lebih banyak lagi membuka Warung Sodaqoh di lain tempat.

Anak Juragan Tegel

Sehari-hari saya adalah pebisnis batu alam dari berbagai daerah. Batu-batu alam ini kami olah menjadi material eksterior maupun interior. Ada yang saya jual di dalam negeri untuk eksteriornya. Tapi kebanyakan saya olah untuk menjadi material interior keperluan ekspor. Jenis desainnya ada yang untuk wastafel, bath up, tempat sabun, pelapis dinding, console, ubin dan lainnya.

Bisnis batu alam ini sebenarnya warisan dari kedua orangtua saya. Keduanya berbisnis pemotongan batu marmer dan pembuatan tegel alias ubin semen. Usaha orangtua saya mencapai kejayaannya tahun 1970-an hingga 1990-an, sebelum akhirnya bangkrut gara-gara krisis ekonomi tahun 1998.

Orangtua saya berasal dari Tulungagung, Jatim, yang hijrah ke Yogyakarta. Saya lahir di Yogyakarta, 17 Oktober 1981, bungsu dari empat bersaudara. Karena orangtua menggeluti usaha batu, maka sejak kecil saya terbiasa melihat bagaimana orangtua saya menjalankan bisnisnya. Anehnya, selepas dari bangku D3 Akuntansi UGM, saya bukannya ikut menekuni bisnis orangtua, melaiankan malah bekerja pada orang yang berbisnis batu alam.

Bekerja hingga beberapa waktu lamanya membuat saya tersadar. Kalau terus bekerja pada orang tentu saya tidak akan maju. Dari sinilah saya mulai berpikir untuk mandiri dan memiliki usaha sendiri. Saya pun memutuskan >resign> lalu berbisnis di beberapa bidang.