Maika, Mimpi Menjadi Perusahaan Kelas Dunia

By nova.id, Minggu, 8 November 2015 | 03:01 WIB
Maika, mimpi menjadi perusahaan kelas dunia. (nova.id)

Jadi, setiap hari dalam hitungan detik saya bisa tahu berapa penjualan yang belum terpenuhi, 10 besar produk yang jadi bestseller, siapa distributor terbaik, dan sebagainya. Lantaran pekerjaan bertambah banyak, tanggung jawab juga semakin besar. Kalau semua pekerjaan hanya kami kerjakan berdua, kami tak sanggup. Itu sebabnya, setahun belakangan, kami mengelola perusahaan ini bertiga dengan bergabungnya Nindin M. Moersid, adik saya, yang menjadi COO di perusahaan kami.

Nindin menangani bagian operasional, suami saya menjadi CEO yang mengurus manajemen dan keuangan, sedangkan saya mengurus Research & Development(R&D) dan produksi. Layaknya sebuah bisnis, ada masa panen dan ada masa sepi dalam setahun. Bagi Maika, menjelang Lebaran merupakan saat paling sepi. Mungkin karena saat itu orang lebih fokus untuk membeli baju dan perlengkapan Lebaran lainnya.

Nah, menjelang anak masuk sekolah merupakan masa panen kami. Maika memang ditujukan bagi remaja mulai SMA, bahkan ibu-ibu muda. Ada juga produk yang kami sasarkan untuk usia di atas itu, tapi sifatnya hanya tambahan. Untuk kategori ini, kami membedakannya dari warna dan model tas.

Lalu, layaknya sebuah bisnis yang menjanjikan, muncul pula banyak kompetitor. Untuk wilayah Bandung dan Cimahi saja ada sekitar 20 merk. Ada yang hanya bisa bertahan 1-2 bulan, ada pula yang bisa bertahan lebih lama. Tak sedikit yang meniru produk kami. Tapi kami ikhlas desain kami dicontek orang lain. Rezeki kan, sudah diatur. Yang penting, merk kami tak dipakai karena Maika sudah dipatenkan.

Pernah kami mengirim surat somasi pada sebuah UKM di Jawa Timur yang memproduksi sandal dengan merk Maika. Akhirnya diganti.

Sebetulnya, tak banyak yang mampu meniru Maika. Sebab, proses pembuatannya agak rumit. Butuh kerja keras untuk itu. Belum lagi, kalau si pemilik bukan desainernya, sehingga mereka akan gonta-ganti desainer dan produk sulit berkembang. Nah, yang ditiru dari kami dan benar-benar menjadi pesaing adalah produk-produk seperti handphone organizer (HPO) atau kantong ponsel.

Apresiasi untuk Pelanggan

Waktu itu, permintaan pasar terhadap kami memang sangat tinggi sehingga kami kewalahan. Karena kami tak bisa cepat memenuhi, muncullah produk-produk itu dari kompetitor. Karena bordirnya dikerjakan lewat komputer, harga mereka bisa lebih murah. Kami anggap saja para kompetitor itu sebagai motivator bagi kami agar lebih kreatif mendesain produk. Sementara, untuk produk tas tidak terlalu banyak kompetitor.

Namun, karena kami konsisten pada pengembangan produk dan desain baru, kami tetap lebih unggul. Kami juga punya banyak penggemar fanatik yang merasa “tidak sah” kalau belum membeli produk kami. Malah, kebanyakan pelanggan sekarang adalah mereka yang sejak Maika didirikan sudah jadi pembeli. Ada ratusan distributor dan ribuan reseller yang tersebar di 32 kota di seluruh Indonesia. Sebagai apresiasi, kami memberikan mereka berbagai macam fasilitas. Antara lain, garansi penggantian untuk produk reject.

Bukan hanya satu, tapi dua produk yang kami berikan sebagai gantinya. Keduanya bisa berbeda, tapi harganya sama. Namun, sejauh ini produk reject jumlahnya di bawah 0,5 persen. Selain itu, kami juga memberikan hadiah gratis liburan ke Bali untuk distributor terbaik. Meski perusahaan kami berada di dalam gang sempit, tapi perusahaan kami dikelola dengan manajemen yang cukup modern.

O iya, pada awalnya dulu kami mengontrak rumah asri yang kami tempati sampai sekarang sebagai tempat produksi. Setelah usaha makin maju, kami membelinya. Sebelum di rumah ini, kami sempat menyewa sebuah kamar kos ketika pertama datang ke Cimahi. Di sana kami juga sambil produksi. Lalu, pindah ke rumah orangtua. Kami bersyukur, perjuangan dan jerih payah kami selama bertahun-tahun tak sia-sia.

Saya sangat bersyukur suami saya sangat mendukung hobi saya untuk berkembang menjadi sebuah bisnis, bahkan kemudian ikut terjun di dalamnya dan menjadikan usaha ini besar. Sebelumnya, suami saya menjadi manajer di sebuah perusahaan ekspedisi di Bali. Meski sudah mapan, suami memilih tantangan baru dengan mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kami pindah ke Lampung untuk memulai usaha baru di bidang kesehatan.