Terapi itu berlangsung selama satu jam. Seminggu kemudian, terapi itu diulang, lalu sekali lagi pada minggu berikutnya. Si terapis memang mengatakan ia hanya akan memberi terapi tiga kali. Katanya, kalau tiga kali itu berhasil, insya Allah aku bisa sembuh. Ia juga memintaku yakin bahwa aku bisa sembuh. Setelah terapi itu, tak ada lagi terapi ini-itu yang kulakukan, meski banyak yang menyarankan. Aku hanya mengandalkan obat dokter dan rutin kontrol.
Sehari-hari, semua aktivitas kulakukan di tempat tidur, termasuk salat, makan, sampai buang air. Selama dua tahun kondisiku seperti itu. Namun, tak sedikit pun terbersit putus asa dalam benakku. Aku yakin, Tuhan yang memberikan penyakit ini dan Dia pula yang akan menyembuhkannya. Aku yakin, penyakit ini pasti ada obatnya dan aku selalu berdoa.
Namun, di tempat tidur terus-terusan lama-lama bosan juga. Alhamdulillah, setelah sekian lama terbaring di tempat tidur, aku mulai bisa bangun. Aku mulai bisa berkeliling di dalam rumah dengan kursi roda. Namun, kupikir, kalau di kursi roda terus, kapan aku akan sembuh?
Akhirnya, setelah enam bulan berada di kursi roda, kuputuskan belajar berjalan. Dengan dituntun anakku, aku mulai belajar berjalan di dalam rumah. Kupaksakan kakiku melangkah, meski kemudian jatuh. Tak kapok, aku kembali bangun dan berjalan. Aku jatuh lagi. Begitu terus yang terjadi.
Suara Terbata
Semangatku sangat besar untuk sembuh, makanya aku tak mau menyerah. Orang bilang, kalau sudah kena stroke sebaiknya jangan sampai jatuh tapi aku tak peduli. Aku yakin bisa sembuh dan ingin bisa berjalan lagi.
Ketika kontrol ke dokter, ia menyarankan agar aku rutin bernyanyi dan tak usah menjalani terapi macam-macam. Ia tahu bahwa sebelumnya aku aktif bernyanyi. Maka, setelah bisa bangun dari tempat tidur dan mulai bisa sedikit berjalan, kuminta anakku mengantar ke Mulo untuk bernyanyi lagi. Setelah dua tahun, akhirnya aku keluar rumah juga.
Anak-anakku ikut menemani. Saat itu, aku tak lagi memakai kursi roda. Melihat kedatanganku, teman-teman di Mulo sangat gembira menyambut. Seraya dipegangi anakku, aku maju ke depan bernyanyi dengan iringan musik. Sebetulnya suaraku tidak keluar, yang terdengar hanya suara tak jelas yang hanya sepatah-patah dan terbata-bata. Jelek. Tidak puguh, kalau kata orang Sunda. Mungkin, orang lain akan merasa malu kalau menjadi aku saat itu. Tapi aku tidak peduli.
Toh, aku tidak melakukan perbuatan yang tidak-tidak. Ini kulakukan demi ingin sembuh. Jadi, aku percaya diri saja. Mungkin karena terbiasa menghadapi orang banyak saat menjadi MC, ya. Lagipula, toh teman-temanku juga tahu aku sedang sakit dan bernyanyi merupakan terapiku. Toh, ini bukan lomba. Teman-temanku dengan penuh perhatian mendengarkanku bernyanyi dan bertepuk tangan setelahnya. Tak satu pun yang mengejek. Mereka sangat mendukungku.
Aku tak tahu, ternyata mereka menangis di belakangku. Mereka tahu seperti apa aku kala bernyanyi sebelum terserang stroke, jadi mereka sangat sedih melihatku saat itu. Anak-anakku pun sedih karena aku belum bisa bernyanyi. Kukatakan, biar saja dan aku akan terus bernyanyi sampai bisa. Sejak itu, setiap hari aku datang ke Mulo untuk bernyanyi, kecuali Minggu karena Mulo libur. Lagi-lagi suara tak jelas itu yang keluar dari mulutku, dan lagi-lagi teman-temanku memberiku semangat sepenuh hati mereka.
Suasana kekeluargaan seperti inilah yang memang membuatku sangat menyukai Mulo. Tak ada perbedaan. Mereka seperti kakak dan adikku sendiri. Bernyanyi kemudian menjadi terapiku. Di rumah, setiap hari aku juga rajin latihan bernyanyi sambil main kibor. Ini sekaligus terapi agar jari-jari tanganku tidak kaku lagi. Pada tetangga-tetanggaku, aku meminta maaf kalau suara kiborku mengganggu. Kujelaskan pada mereka bahwa itu adalah terapiku. Untung mereka bisa mengerti.
Tak Lagi Ditemani