Selain bernyanyi, berolahraga dan minum air putih setiap pagi juga menjadi terapiku. Semasa sehat dulu, pola hidupku memang tidak bagus. Aku sering lupa makan, terutama saat jadi MC. Meski aku sangat menikmati ketika melakukannya, sebelumnya aku juga harus memikirkan bagaimana agar acara orang lain bisa berjalan lancar. Aku juga tak pernah sarapan. Segelas besar kopi menjadi pengganti sarapanku tiap pagi. Sejak sakit, kuharuskan makan tiga kali.
Makan gorengan dan minum kopi yang dulu jadi kegemaran tak kusentuh lagi. Pendeknya, semua saran dokter kuikuti. Ada memang yang bertanya, kenapa aku menghambur-hamburkan uang untuk bernyanyi, karena memang membayar. Kujawab saja, aku memang bukan orang yang punya, tapi lebih baik uangnya kugunakan untuk bernyanyi karena itu anjuran dokter, daripada mencoba terapi ke sana-sini dan belum tentu ada hasilnya. Jadi, untuk menyanyi sengaja kusisihkan uang.
Setelah enam bulan bernyanyi setiap hari, hasilnya mulai kurasa. Aku mulai lancar bernyanyi dan bicara, meski masih agak kaku. Aku terus bernyanyi setiap hari sampai akhirnya aku kembali lancar berbicara dan berjalan. Mungkin butuh waktu satu tahun sejak pertama kali aku bernyanyi lagi.
Sepertinya, Tuhan memang sudah mengatur semuanya. Tepat setelah aku bisa berjalan, Irliani yang selama ini merawatku, mendapat panggilan pekerjaan di Balikpapan. Dan, setelah bisa berjalan lancar seperti dulu, aku pun berangkat ke Mulo sendiri naik angkutan kota. Tanpa ditemani.
Tetangga-tetangga, bahkan dokterku sampai heran bagaimana aku bisa sembuh. Aku percaya, semua mukjizat ini karena Allah. Sekarang, tiga bulan sekali aku masih kontrol. Meski menurutku masih sedikit kaku dan bicaraku pelo, menurut teman-temanku tidak. Aku percaya, dengan berjalannya waktu aku bisa sembuh. Doaku memang satu, aku bisa sembuh seperti sebelum sakit. Setiap hari, aku masih tetap berlatih nyanyi di rumah dan Mulo. Kalau awal terapi dulu aku hanya bisa bernyanyi 3-4 lagu, sekarang bisa 12 lagu.
Sejak sakit pula, semua kegiatan aku stop, kecuali bernyanyi. Anak-anakku melarangku ngemsi lagi. Namun, mereka mendukungku untuk terus bernyanyi. Kalau aku absen, anakku bertanya apakah aku tak punya uang? Lalu mengirim uang. Ya, kini aku memang hidup dari uang pensiun dan kiriman anak-anakku. Tiga dari mereka tinggal di luar kota, satu lagi sekota denganku. Terkadang, kuajak anak, menantu, dan cucuku ikut bernyanyi di Mulo.
Kini, kalau ada tetangga yang terkena stroke, aku selalu menyemangatinya dan mengajaknya terapi bernyanyi di Mulo.
Hasuna Daylailatu