Pulih Dari Stroke Dengan Bernyanyi, “Sekarang Aku Bisa Nyanyi 12 Lagu”

By nova.id, Rabu, 9 Desember 2015 | 06:49 WIB
Karny Otaya (63) sangat aktif di berbagai kegiatan. (nova.id)

Tabloidnova.com - Meski usianya tak lagi muda, Karny Otaya (63) sangat aktif di berbagai kegiatan. Serangan stroke yang datang memaksanya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Semangat dan rutin bernyanyi akhirnya membuatnya kembali pulih.

Sehari-hari, aku mengajar di beberapa sekolah di Bandung. Di sela-sela pekerjaanku, terutama di akhir pekan, aku sering diminta menjadi Master of Ceremony (MC) untuk acara pernikahan. Biasanya, seminggu sekali aku jadi MC bahkan sampai ke luar kota. Kebetulan, ada beberapa perias pengantin yang sering mengajakku jadi MC ketika mereka mendapat ob. Aku juga diminta tampil bernyanyi sambil memainkan kibor, mulai dari acara ulangtahun, arisan, sampai pergantian tahun di malam tahun baru.

Belum lagi, aku aktif bernyanyi di beberapa komunitas, termasuk komunitas Music Lovers (Mulo) yang didirikan Ari, mantan muridku di SMP tempatku mengajar dulu. Bahkan, 4-5 kali aku pernah ikut bermain sinetron yang ditayangkan TVRI Bandung.

Hari-hariku selalu ceria. Seolah tak ada lelah. Juga, tak pernah habis bahan obrolan karena aku memang cerewet. Pendek kata, hidupku sangat berwarna dan aku aktif ke mana-mana.

Suamiku dipanggil Tuhan lebih dulu, tahun 2009. Waktu itu aku sedang ngemsi untuk acara pernikahan di Taman Mini Indonesia Indah. Tapi aku berhasil bangkit dan tak larut dalam kesedihan ditnggal suami tercinta.

Belajar Berjalan

Tapi, itu dulu, sebelum aku terkena serangan stroke Desember 2011 silam. Aku masih ingat betul, peristiwa itu terjadi sehari sebelum jadwal keberangkatanku ke Gorontalo, Sulawesi, untuk menjadi MC di sebuah pernikahan di sana. Tiket pesawat sudah di tangan.

Namun, pada hari itu, pagi-pagi ketika hendak mencuci kerudung di kamar mandi, mendadak kepalaku sangat pusing. Aku keluar dari kamar mandi dan duduk di kursi. Segera kubangunkan anak-anakku dan mereka pun langsung membawaku ke RS Borromeus dengan mobil tua kami.

Hasilnya sungguh mengejutkan. Tekanan darahku yang rendah dan biasanya di angka 100, saat itu melonjak jadi 175. Menurut dokter, kemungkinan penyebabnya karena aku terlalu gembira. Memang benar, aku sangat gembira karena besoknya aku akan terbang ke Gorontalo, kampung halamanku. Terbayang sudah di benakku, betapa bahagianya bertemu saudara-saudaraku tercinta. Rupanya, inilah yang menyebabkan tekanan darahku melonjak drastis. Kata dokter lagi, tensi tinggi tak masalah bagi yang memang punya riwayat tekanan darah tinggi karena sudah terbiasa tinggi. Yang berbahaya justru seperti yang kualami. Apalagi, aku juga punya riwayat kolesterol tinggi.

Beberapa saat setelah masuk rumah sakit, aku langsung tak bisa berjalan dan bicara. Tetangga, saudara, dan teman-temanku bergantian datang menjenguk kondisiku yang memprihatinkan. Sebagian menduga aku tak bisa selamat. Bahkan, ada yang mengabarkan pada saudara-saudaraku di Gorontalo bahwa aku telah meninggal, sehingga mereka menangis. Mungkin, sakit ini adalah teguran Tuhan buatku. Jadi kuterima saja dengan ikhlas.

Terapi Biji Merica

Alhamdulillah, setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, aku diizinkan pulang meski masih belum bisa berjalan dan bicara. Di rumah, aku dirawat anak sulungku, Irliani Sarwono, satu-satunya anak perempuanku. Ketiga adiknya laki-laki. Kebetulan ia belum bekerja waktu itu. Salah seorang tetangga menyarankan agar aku diterapi dengan merica. Terapis dari Majalengka yang ia sarankan kemudian dipanggil ke rumah. Meski merica yang ia gunakan hanya sebutir, tapi sakitnya luar biasa ketika ditekankan ke jari-jari kakiku.

Terapi itu berlangsung selama satu jam. Seminggu kemudian, terapi itu diulang, lalu sekali lagi pada minggu berikutnya. Si terapis memang mengatakan ia hanya akan memberi terapi tiga kali. Katanya, kalau tiga kali itu berhasil, insya Allah aku bisa sembuh. Ia juga memintaku yakin bahwa aku bisa sembuh. Setelah terapi itu, tak ada lagi terapi ini-itu yang kulakukan, meski banyak yang menyarankan. Aku hanya mengandalkan obat dokter dan rutin kontrol.

Sehari-hari, semua aktivitas kulakukan di tempat tidur, termasuk salat, makan, sampai buang air. Selama dua tahun kondisiku seperti itu. Namun, tak sedikit pun terbersit putus asa dalam benakku. Aku yakin, Tuhan yang memberikan penyakit ini dan Dia pula yang akan menyembuhkannya. Aku yakin, penyakit ini pasti ada obatnya dan aku selalu berdoa.

Namun, di tempat tidur terus-terusan lama-lama bosan juga. Alhamdulillah, setelah sekian lama terbaring di tempat tidur, aku mulai bisa bangun. Aku mulai bisa berkeliling di dalam rumah dengan kursi roda. Namun, kupikir, kalau di kursi roda terus, kapan aku akan sembuh?

Akhirnya, setelah enam bulan berada di kursi roda, kuputuskan belajar berjalan. Dengan dituntun anakku, aku mulai belajar berjalan di dalam rumah. Kupaksakan kakiku melangkah, meski kemudian jatuh. Tak kapok, aku kembali bangun dan berjalan. Aku jatuh lagi. Begitu terus yang terjadi.

Suara Terbata

Semangatku sangat besar untuk sembuh, makanya aku tak mau menyerah. Orang bilang, kalau sudah kena stroke sebaiknya jangan sampai jatuh tapi aku tak peduli. Aku yakin bisa sembuh dan ingin bisa berjalan lagi.

Ketika kontrol ke dokter, ia menyarankan agar aku rutin bernyanyi dan tak usah menjalani terapi macam-macam. Ia tahu bahwa sebelumnya aku aktif bernyanyi. Maka, setelah bisa bangun dari tempat tidur dan mulai bisa sedikit berjalan, kuminta anakku mengantar ke Mulo untuk bernyanyi lagi. Setelah dua tahun, akhirnya aku keluar rumah juga.

Anak-anakku ikut menemani. Saat itu, aku tak lagi memakai kursi roda. Melihat kedatanganku, teman-teman di Mulo sangat gembira menyambut. Seraya dipegangi anakku, aku maju ke depan bernyanyi dengan iringan musik. Sebetulnya suaraku tidak keluar, yang terdengar hanya suara tak jelas yang hanya sepatah-patah dan terbata-bata. Jelek. Tidak puguh, kalau kata orang Sunda. Mungkin, orang lain akan merasa malu kalau menjadi aku saat itu. Tapi aku tidak peduli.

Toh, aku tidak melakukan perbuatan yang tidak-tidak. Ini kulakukan demi ingin sembuh. Jadi, aku percaya diri saja. Mungkin karena terbiasa menghadapi orang banyak saat menjadi MC, ya. Lagipula, toh teman-temanku juga tahu aku sedang sakit dan bernyanyi merupakan terapiku. Toh, ini bukan lomba. Teman-temanku dengan penuh perhatian mendengarkanku bernyanyi dan bertepuk tangan setelahnya. Tak satu pun yang mengejek. Mereka sangat mendukungku.

Aku tak tahu, ternyata mereka menangis di belakangku. Mereka tahu seperti apa aku kala bernyanyi sebelum terserang stroke, jadi mereka sangat sedih melihatku saat itu. Anak-anakku pun sedih karena aku belum bisa bernyanyi. Kukatakan, biar saja dan aku akan terus bernyanyi sampai bisa. Sejak itu, setiap hari aku datang ke Mulo untuk bernyanyi, kecuali Minggu karena Mulo libur. Lagi-lagi suara tak jelas itu yang keluar dari mulutku, dan lagi-lagi teman-temanku memberiku semangat sepenuh hati mereka.

Suasana kekeluargaan seperti inilah yang memang membuatku sangat menyukai Mulo. Tak ada perbedaan. Mereka seperti kakak dan adikku sendiri. Bernyanyi kemudian menjadi terapiku. Di rumah, setiap hari aku juga rajin latihan bernyanyi sambil main kibor. Ini sekaligus terapi agar jari-jari tanganku tidak kaku lagi. Pada tetangga-tetanggaku, aku meminta maaf kalau suara kiborku mengganggu. Kujelaskan pada mereka bahwa itu adalah terapiku. Untung mereka bisa mengerti.

Tak Lagi Ditemani

Selain bernyanyi, berolahraga dan minum air putih setiap pagi juga menjadi terapiku. Semasa sehat dulu, pola hidupku memang tidak bagus. Aku sering lupa makan, terutama saat jadi MC. Meski aku sangat menikmati ketika melakukannya, sebelumnya aku juga harus memikirkan bagaimana agar acara orang lain bisa berjalan lancar. Aku juga tak pernah sarapan. Segelas besar kopi menjadi pengganti sarapanku tiap pagi. Sejak sakit, kuharuskan makan tiga kali.

Makan gorengan dan minum kopi yang dulu jadi kegemaran tak kusentuh lagi. Pendeknya, semua saran dokter kuikuti. Ada memang yang bertanya, kenapa aku menghambur-hamburkan uang untuk bernyanyi, karena memang membayar. Kujawab saja, aku memang bukan orang yang punya, tapi lebih baik uangnya kugunakan untuk bernyanyi karena itu anjuran dokter, daripada mencoba terapi ke sana-sini dan belum tentu ada hasilnya. Jadi, untuk menyanyi sengaja kusisihkan uang.

Setelah enam bulan bernyanyi setiap hari, hasilnya mulai kurasa. Aku mulai lancar bernyanyi dan bicara, meski masih agak kaku. Aku terus bernyanyi setiap hari sampai akhirnya aku kembali lancar berbicara dan berjalan. Mungkin butuh waktu satu tahun sejak pertama kali aku bernyanyi lagi.

Sepertinya, Tuhan memang sudah mengatur semuanya. Tepat setelah aku bisa berjalan, Irliani yang selama ini merawatku, mendapat panggilan pekerjaan di Balikpapan. Dan, setelah bisa berjalan lancar seperti dulu, aku pun berangkat ke Mulo sendiri naik angkutan kota. Tanpa ditemani.

Tetangga-tetangga, bahkan dokterku sampai heran bagaimana aku bisa sembuh. Aku percaya, semua mukjizat ini karena Allah. Sekarang, tiga bulan sekali aku masih kontrol. Meski menurutku masih sedikit kaku dan bicaraku pelo, menurut teman-temanku tidak. Aku percaya, dengan berjalannya waktu aku bisa sembuh. Doaku memang satu, aku bisa sembuh seperti sebelum sakit. Setiap hari, aku masih tetap berlatih nyanyi di rumah dan Mulo. Kalau awal terapi dulu aku hanya bisa bernyanyi 3-4 lagu, sekarang bisa 12 lagu.

Sejak sakit pula, semua kegiatan aku stop, kecuali bernyanyi. Anak-anakku melarangku ngemsi lagi. Namun, mereka mendukungku untuk terus bernyanyi. Kalau aku absen, anakku bertanya apakah aku tak punya uang? Lalu mengirim uang. Ya, kini aku memang hidup dari uang pensiun dan kiriman anak-anakku. Tiga dari mereka tinggal di luar kota, satu lagi sekota denganku. Terkadang, kuajak anak, menantu, dan cucuku ikut bernyanyi di Mulo.

Kini, kalau ada tetangga yang terkena stroke, aku selalu menyemangatinya dan mengajaknya terapi bernyanyi di Mulo.

Hasuna Daylailatu