Anyaman Koran Untuk Perempuan (1)

By nova.id, Sabtu, 4 Juni 2016 | 17:01 WIB
Aling Nur Naluri (nova.id)

Keinginannya mendirikan bisnis yang punya kemanfaatan sosial membuat Salam Rancage yang ia dirikan sukses memberdayakan para perempuan di lingkungannya.

Perkenalkan, saya Aling Nur Naluri, pendiri Salam Rancage (SR) bersama Bu Tri Permana Dewi. Kata Salam pada Salam Rancage sendiri merupakan singkatan dari kata Sekolah Alam, sedangkan Rancage merupakan bahasa Sunda yang berarti terampil. Salam Rancage memang lahir di areal Sekolah Alam Bogor (SAB).

Alkisah, pada 2009 SAB membuat bank sampah bagi para siswa. Tujuannya untuk mengedukasi siswa memilah dan memanfaatkan sampah. Bank sampah yang dikelola Bu Dewi ini ternyata menghasilkan banyak sampah. Awalnya sampah dijual begitu saja. Namun, pada 2012 saya dan Bu Dewi berpikir, bank sampah ini bisa dikontribusikan ke masyarakat sekitar SAB, karena ternyata banyak warga di sana yang tergolong kurang mampu.

Maka, tahun itu juga kami mendirikan SR, yang merupakan pengembangan dari bank sampah sekolah menjadi bank sampah masyarakat. SR sengaja dikonsep sebagai social business. Sebab, kami ingin menebarkan kemanfaatan sosial tapi yang berjangka panjang dan berkelanjutan. Jadi, bukan hanya sebentar lalu hilang. Kalau formatnya bisnis, kan, modalnya bisa terus berputar dan tidak tergantung donasi. Karena berangkat dari bank sampah, tujuan besar kami adalah adanya dua nilai terkandung dalam produk ini.

Pertama nilai lingkungan, lantaran semangatnya berangkat dari bank sampah. Kedua nilai pemberdayaan perempuan. Karena konteksnya bisnis, seperti bisnis pada umumnya, maka produk yang dijual harus laku. Kalau harus laku, berarti kualitasnya harus bagus. Kalau harus bagus, berarti pengerjaannya harus rapi. Sebab, niat kami menjual produk yang dibeli orang karena dia memang menyukai desainnya, membutuhkan fungsinya, dan kualitas barangnya memang bagus.

Jadi, bukan membeli karena kasihan atau karena produk tersebut merupakan daur ulang. Kalau membeli karena kasihan, sekali membeli selesai, mereka tidak datang lagi. Namun, ketika dia membeli karena membutuhkan dan menyukainya, ini bisa jadi repeat order bagi kami. Nah, ketika bisnis berjalan dan produk dibeli orang, ibu-ibu yang mengerjakannya akan terus mendapatkan order dan kemanfaatan sosialnya bisa terus berjalan.

Koran Pengganti Rotan

Itulah angan-angan kami ketika mengonsep SR. Karena produk ini punya nilai lingkungan, berarti produknya harus ramah lingkungan. Artinya, tidak boleh menggunakan bahan yang bersifat racun, walaupun akhirnya harga produk jadi lebih mahal.

Itu sebabnya, sejak awal semua produk kami ramah lingkungan. Nah, dari sisi nilai pemberdaayaan perempuan, ada cerita di balik alasan kami memilih yang diberdayakan harus perempuan. Memang ada laki-laki yang mengerjakan produk kami, tapi sangat minoritas. Kami percaya setiap perempuan dilahirkan dengan ketangguhan. Yang sanggup melahirkan, mengasuh anak, menyusui, dan menahan kesakitan adalah perempuan.

Setiap perempuan dilahirkan dengan bekal ketangguhan. Nah, cita-cita kami adalah para perempuan itu bisa mengingat kembali bahwa dirinya tangguh. Sehingga, ketika ada masalah apa pun menimpanya, dia punya rasa percaya diri bahwa dirinya bukan mahluk rapuh, melainkan mahluk tangguh yang sebenarnya bisa berkontribusi menyelesaikan masalahnya.

Nah, karena misinya pemberdayaan perempuan, berarti teknologi yang digunakan dalam proses produksinya harus ramah perempuan. Bisa dikerjakan di rumah, tidak meninggalkan anak, dan sebagainya. Jadi, ibu-ibu ini masih bisa mengerjakan urusan dapur, momong anak, dan tidak terlalu lelah atau terforsir tenaganya.

Dari situ kami menemukan ternyata menganyam itu teknologi yang ramah perempuan dan fleksibel untuk mereka. Dan karena di kota tidak tersedia pandan dan rotan, yang tersedia adalah koran, maka kami menggunakan koran sebagai bahan baku anyaman. Di bank sampah sendiri, koran merupakan sampah dengan jumlah terbanyak setelah plastik. Sebab, mayoritas orangtua siswa berlangganan koran.