Anyaman Koran Untuk Perempuan (1)

By nova.id, Sabtu, 4 Juni 2016 | 17:01 WIB
Aling Nur Naluri (nova.id)

Teknologi Ramah Perempuan

Sebetulnya, anyaman dari kertas koran ini tidak lantas diputuskan sejak awal. Mulanya, kami tentukan lebih dulu apa saja jenis sampah yang ada di bank sampah kami, lalu dibuat peringkat. Plastik ada di peringkat pertama karena itulah yang paling banyak jumlahnya. Tiga peringkat teratas lainnya adalah koran karena waktu itu banyak orangtua siswa yang berlangganan koran, kaca, dan kaleng.

Keempat jenis sampah itu lalu kami buat kerajinan. Ada kaleng lukis, tas dari plastik, dan lainnya. Namun, dari keempatnya, pada 2014 pilihan kami lalu jatuh pada kerajinan berbahan baku koran. Sebab, pangsa pasarnya ada dan kualitas produknya jadi bagus. Kalau memilih kaleng sebagai bahan baku, seberapa banyak sih, orang beli celengan kaleng? Sementara, kalau dari plastik, seberapa banyak orang membeli produk recycle dari plastik?

Selain itu, kami juga butuh waktu lebih lama untuk riset, bagaimana caranya agar orang mau memakainya tanpa merasa jijik dan malu. Mungkin kelak kami akan mencoba plastik juga, tapi tidak sekarang. Sebab, bisnis ini butuh cash flow, jadi produknya harus laku. Dan, sejauh ini, penjualan yang paling bagus adalah yang berbahan baku kertas koran. Kedua, yang teknik pengerjaannya lebih ramah perempuan adalah kertas. Kalau melukis di kaleng atau kaca, agak sulit buat mereka.

Kami melihat bahwa sampah terbanyak, paling mudah dikerjakan ibu-ibu, dan sepertinya kerajinan tangan yang paling laku dijual adalah koran. Dari riset yang kami lakukan, yang paling memungkinkan adalah yang berbahan dasar kertas. Selama ini kami lihat bahwa orang membeli produk recycle karena ada momentum tertentu seperti peringatan hari bumi, atau karena kasihan karena pembuatnya kurang mampu. Kami tidak ingin main-main.

Alasan kami sejak awal memilih tujuan untuk diekspor, karena dengan demikian harus dibangun standar yang tinggi dalam proses produksinya, dan standar yang tinggi itu adanya di luar negeri. Selain itu, juga sebagai awareness bahwa produk recycle bisa kok, punya standar kualitas yang bagus. Maka, kami nekat mewujudkan semua itu. Kami sering berdiskusi soal produknya.

Butuh Waktu Lama

Selama setahun persiapan, saya dan Bu Dewi belajar menganyam secara otodidak. Kami belajar sendiri, mencari videonya di Youtube, lalu menganyam bareng. Kami sama-sama tidak punya pengalaman menganyam, hanya punya keinginan. Kami berpikir, kalau sudah punya niat kebajikan, kebajikan itu tidak akan pernah dibiarkan sendirian oleh Allah. Pasti akan dipertemukan dengan jalannya dan para penolongnya. Tugas kami hanya meniatkan kebajikan.

Oleh karena itu, butuh proses dan waktu yang panjang untuk belajar dan menghasilkan produk anyaman yang rapi. Awalnya, hasilnya mencong sana-sini, sangat jelek. Bisa membuat keranjang atau produk ukuran kecil saja kami sudah senang luar biasa sampai berjingkrak-jingkrak. Sebab, kami membuatnya tanpa rangka atau besi, tapi bisa kokoh. Padahal, hasilnya jelek banget, sangat tidak rapi.

Namun, kami pikir yang penting kokoh dulu, rapi urusan belakangan. Meski membutuhkan waktu lama, seiring jam terbang hasil anyaman buatan kami makin rapi dan kami semakin tahu trik-trik menganyam yang bagus dan halus. Mengubah bentuk produk dari bulat ke kotak saja, kami butuh waktu hampir setahun untuk mendapatkan hasil yang pas. Sebab, kami ingin sepenuhnya produk kami terbuat dari anyaman koran dan tidak menggunakan material lain.

Awalnya, kami menjual produk buatan kami berdua di komunitas SAB, lewat pameran-pameran yang mereka adakan di sekolah. Beruntung, lantaran komunitas SAB sangat peduli pada lingkungan, produk jelek pun dibeli. Entah karena kasihan atau memang suka. Ha ha ha.

Inilah yang membesarkan kami. Sebab, sekolah alam memiliki visi mendekat ke alam dan respek terhadap alam. Sehingga, secara mindset sudah terbangun dan penjualan jadi lebih mudah. Para orangtua siswa juga mulai memesan. Pesanan mereka itulah yang membuat kami bertahan dan membuat kami senang, ternyata ada yang membeli produk kami. Ada yang membeli saja, sudah cukup membuat kami senang.