Ayah Ibu Tak Kompak Mengasuh, Anak Bisa Rapuh

By Ade Ryani HMK, Senin, 8 Agustus 2016 | 21:00 WIB
Pola Asuh Tak Konsisten Sebabkan Si Kecil Manipulatif (Ade Ryani HMK)

Sejatinya setiap orang telah merekam dalam alam bawah sadar mereka, bagaimana mereka dulu dibesarkan oleh orangtua. Pengalaman ini pun ada yang diterapkan pada buah hatinya kelak. Ada pula yang memilih pola asuh berbeda.

Rosalind Sedacca, seorang konsultan pola asuh anak dan perceraian di Amerika Serikat mengatakan salah satu konflik yang dialami orangtua adalah tak adanya titik temu soal perbedaan pandangan mereka mengenai cara membesarkan anak. Meski tujuannya untuk yang terbaik bagi Si Anak, tapi sebenarnya, hal-hal apa saja, sih, yang bisa meruncing jadi perdebatan panjang bahkan pertengkaran?

1. Pendidikan

Ketika buah hati memasuki usia sekolah, pasangan suami-istri sering membahas soal pendidikan terbaik. Dimulai dari usia memulai sekolah, pilihan sekolah, lokasi, biaya dan sebagainya. Perbedaan pun biasanya timbul. Ada yang menganggap sekolah mana pun baik, yang penting anak senang belajar dan bersosialisasi. Tapi tak jarang ada juga salah satu pasangan yang ingin anaknya bersekolah di tempat terbaik hingga mendapat prestasi membanggakan. Bahkan, kalau perlu ikut les ini-itu.

2. Bad Cop VS Good Cop

Mungkin sejak kecil, suami terdidik tegas dan disiplin, sementara sang istri dibesarkan dengan penuh kelembutan. Atau bisa jadi sebaliknya. Hal ini pun tercermin ketika mereka menyikapi perilaku buah hati. Ayah melarang, ibu membolehkan. Dan yang jadi masalah adalah ketika keduanya ngotot pola asuh yang dianggap terbaik.

3. Kesehatan

Saat anak demam yang tak kunjung turun, Si Ibu panik dan ingin lekas ke dokter. Sedangkan ayah menganggap kondisi itu belum darurat dan masih bisa ditangani dengan cara alami. Tentu saja perbedaan ini berdasar pengalaman masing-masing saat dibesarkan dulu. Termasuk apakah buah hati yang baru lahir perlu divaksin lengkap atau hanya jenis tertentu yang dianjurkan. Alasannya pun beragam.

4. Pergaulan

Siapa orangtua yang tak mau anaknya mau dan mampu bergaul dengan beragam kalangan? Faktanya, seringkali kita temui ucapan agar anak pintar-pintar memilih teman hingga larangan jangan main dengan Si A atau Si B yang mungkin memiliki latar belakang tak klop dengan pandangan Anda sebagai orangtua. Padahal, bisa jadi pasangan malah ingin anak sejak kecil terbiasa menemui bermacam perbedaan untuk bekal pengalaman hidupnya saat dewasa.

5. Mainan dan Materi

Ada anggapan, orangtua rela melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Misalnya, dengan menghadiahi mainan mahal, membelikan pakaian bagus dan bermerek hingga gadget mumpuni agar tak ketinggalan dengan teman-temannya. Tapi, ada juga yang menolak bermacam benda yang dianggap memanjakan atau membuat buah hati terlena tersebut.

6. Campur Tangan Pihak Luar

Tak bisa dipungkiri jika pendapat orang di luar keluarga bisa membawa pengaruh dalam cara Anda membesarkan anak. Jika saran tersebut sevisi mungkin bisa diterapkan, tapi bagaimana kalau bertentangan? Misalnya, sang nenek kerapkali melarang anak bermain kotor-kotoran sedangkan Anda menilai hal itu bukan masalah besar. Celakanya, jika pasangan malah tak mendukung Anda soal ini.

Kunci Kompromi

Tidak ada kata terlambat walaupun diskusi soal pola asuh ini tak dilakukan sebelum Anda dan pasangan menjadi orangtua. Yang penting pasangan tetap merasa dihargai dan dipahami. Dan yakinlah bahwa pasangan juga punya niat yang baik untuk masa depan keluarga. Bagaimana memulainya?

1. Komunikasi

Agar bisa menemukan jalan tengah yang menenangkan pasangan, tentu suami-istri perlu membicarakan hal ini hingga tuntas. Sehingga bisa satu suara dan kompak dalam mengasuh anak.

2. Konsisten

Sebagai tim, ayah ibu harus kompak. Misalnya, dalam menerapkan disiplin. Sekali  ya, tetap harus, ya. Jika ternyata ada perubahan sertai dengan alasan yang mudah dipahami. Akan jauh lebih mudah bagi buah hati untuk memahami aturan, konsekuensi, dan imbalan, jika kedua orangtua mencontohkannya secara konsisten.

3. Kritisi

Jika membolehkan atau melarang, apa efeknya pada anak? Bagaimana jika Anda menempatkan diri sebagai anak? Jangan sungkan juga meminta maaf pada anak jika ternyata hasil keputusan Anda sebagai orangtua keliru. Dengan adanya refleksi diri seperti ini, tentu saja suami-istri akan semakin bijak untuk menyepakati peraturan dalam keluarga.

4. Sepakati

Sebagai pribadi, apakah Anda ingin menjadi sosok yang disegani atau ditakuti oleh anak? Yang penting dalam hal ini, lanjutnya, bukanlah soal persamaan atau perbedaan. Sebab, ayah dan ibu, bagaimanapun adalah dua orang yang berbeda sehingga meskipun pola asuhnya sama namun dalam penerapannya tak jarang akan berbeda juga.

Misalnya, ibu membolehkan anak berbicara terbuka tapi dengan cara yang sopan. Sementara ayah membolehkan anak langsung ngomong kalau si anak tidak setuju pada suatu hal.

5. Temui Pakar

Ada banyak cara untuk berkonsultasi terkait topik ini. Selain mencari tahu sendiri lewat buku atau internet, menghadiri seminar parenting, sharing dalam grup parenting atau bisa juga menemui ahlinya di tempat konsultasi keluarga yang ada di kota Anda.

Dampak Bagi Anak

- Bingung soal aturan mana yang harus ia ikuti, bagaimana sebaiknya ia bertindak hingga kepada siapa ia mengadu? Buruknya lagi, jika anak lama-lama menilai perbedaan ini sebagai caranya untuk memanipulasi keadaan untuk menguntungkan dirinya.

- Kurang Respek. Ada orangtua yang merasa tak tega dan tanpa sadar ingin menjadi pahlawan di mata anak ketika ia terbentur dengan sebuah larangan/peraturan. Justru di situasi ini Anda menjadi ‘penjahat’ bagi masa depan anak. Mengapa? Anak akan tumbuh menjadi pribadi pembangkang yang tidak punya rasa hormat dan yang menganggap remeh peraturan, padahal semakin dewasa hidup kita dikelilingi oleh banyak peraturan.

- Depresi dan cemas karena sering melihat konflik. Serta merasa bersalah karena menyebabkan ayah ibunya bertengkar

- Berpihak pada salah satu orangtua yang mendukung keinginannya. Efeknya tentu saja hubungan anak dan ayah atau ibu bisa terganggu.

- Rasa empati menurun karena sering melihat konflik ketimbang kasih sayang.

- Kelak bisa menganggap pernikahan bukanlah hubungan yang ideal dan rasa tak ingin memiliki anak di kemudian hari. Atau ia akan mengulangi hal yang sama ketika menjadi orangtua.

- Di sisi lain, positifnya perbedaan ini asalkan tak jadi konflik mencolok bisa juga memberi anak pandangan lebih luas. Terutama soal nilai tertentu, terbiasa dengan adanya perbedaan, belajar berkompromi untuk menghasilkan hal yang baik bagi semua anggota keluarga. Semua itu bisa terjadi asalkan orangtua tetap terlihat harmonis, suportif, dan kompak di depan anak.