Trisna Angraini S.Ip, MM Kenalkan Kain Besurek ke Mancanegara

By nova.id, Minggu, 9 Oktober 2016 | 05:01 WIB
Trisna Angraini S.Ip, MM (nova.id)

Perempuan kelahiran Manna, Bengkulu, 1 Agustus 1971 ini memiliki perhatian lebih dalam hal melestarikan kain besurek, kain warisan budaya dari kota kelahirannya, Bengkulu. Di tangannya, besurek yang pembuatannya mirip batik ini mendapat sentuhan napas baru.

Apa yang membedakan besurek dengan kain tradisional lain di Indonesia?

Sebelumnya saya jelaskan dulu arti besurek. Besurek itu artinya bersurat, yang isinya memiliki berbagai makna. Besurek muncul bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Bengkulu. Kain besurek biasanya dipakai untuk acara khusus seperti sungkeman, ke makam leluluhur dan penutup jenazah. Fungsinya belum luas seperti layaknya batik.

Perkembangan kain besurek sebelumnya juga terlihat lambat karena harganya yang tidak murah. Yang bisa memiliki kain besurek itu hanya kaum bangsawan, keluarga petinggi atau pejabat. Belum semua kalangan bisa menikmati.

Kapan besurek digunakan lebih luas oleh masyarakat Bengkulu?

Sekitar tahun 80-an. Ketika itu Gubernur Bengkulu, Drs. H. A. Razie Yahya, menggerakkan dan mengembangkan kain besurek. Sejak itu, kain besurek tak lagi digunakan dalam acara-acara khusus, melainkan dijadikan kain yang bisa digunakan setiap hari.

Bagaimana kemudian Anda mulai mengembangkan besurek?

Sekitar tahun 90-an, ketika itu saya masih menjadi seorang karyawati di sebuah bank. Saya aktif dalam beberapa organisasi. Ketika saya datang dalam sebuah acara organisasi level nasional saya disarankan menggunakan identitas diri daerah masing-masing.

Ketika itu untuk membeli besurek masih mahal karena perajinnya juga sedikit, gaji juga belum seberapa. Belum lagi setiap saya datang ke Jakarta, saya harus membawa gift untuk teman-teman. Saya kemudian berpikir, bagaimana kalau saya membuat sendiri. Jika orang lain bisa mengerjakannya, masak saya enggak bisa? Saya juga melihat bahwa kain besurek ini bagus dan bernilai ekonomis. Saya juga ingin mengolah kain ini menjadi baju, tas dan kerajinan tangan lainnya.

Di sisi lain, timbul pula keprihatinan saya melihat kenyataan bahwa perajin kain besurek ini justru semakin sedikit. Akibatnya, pasarnya juga semakin menyempit. Belum lagi soal motif yang lebih banyak berbentuk kaligrafi Arab, sementara di Indonesia ada lima agama. Sehingga saya semakin terpacu untuk berkreasi mengembangkan besurek ini agar dapat diterima oleh masyarakat luas.

Karena wilayah pesisir, awalnya besurek hanya memiliki warna-warna cerah. Kemudian saya menyesuaikan dengan tren yang ada, saat ini besurek memiliki beragam warna. Kalau pasar ingin warna yang lain, mengapa kita harus memaksakan dengan warna cerah saja? Dengan begitu semakin membuka pasar.

Sebagai putri kelahiran Bengkulu, saya ingin terus mengembangkan besurek dalam bentuk apa pun, tak hanya baju. Untuk desain masih saya lakukan sendiri sejak awal, ide saya dapat dari manapun. Apalagi sekarang sudah ada internet, semua saya pelajari secara otodidak.