Andhang “Tiga Tjeret” Aprihardhanto Bikin Wedangan Naik Kelas

By nova.id, Sabtu, 8 Oktober 2016 | 05:03 WIB
Andang (nova.id)

Panggilan jiwa mendorongnya membangun bisnis kuliner berlandaskan cita rasa seni. Melalui Kafe Tiga Tjeret yang ia buka, image wedangan pun naik kelas.

Namaku Andhang Aprihardhanto. Aku 5 April 1967 dan tumbuh dari keluarga yang mengajarkan arti kerja keras. Bapakku, Bimo Soedijo, dulunya seorang PNS di Dinas Pariwisata, Solo. Sebagai pekerjaan sampingan, beliau menerima pesanan advertising. Meskipun usaha bapakku kecil-kecilan, tapi lewat usaha advertising itulah aku tumbuh menjadi orang yang mencintai seni.

Bapak mengajariku banyak hal. Pertama aku diajari cara mengecat. Setelah gesit mengecat, aku diminta membantu menggarap orderan reklame. Aku memang ikut kerja di tempat bapak. Apa saja aku kerjakan. Membantu bagian arrange tenaga kerja, kadang juga membantu breakdown desain, serta mengeksekusi grafis desainnya. Meski itu usaha milik bapak, aku tak mendapat previlege, lo. Di sana aku digaji seperti karyawan lainnya.

Didikan seperti inilah yang sangat membantuku menjadi seperti sekarang. Intinya, segala sesuatu tidak bisa didapatkan secara instan, melainkan harus ada prosesnya. Patut rasanya aku bersyukur dengan beragam pembelajaran yang kuperoleh dari bapak.

Saat ini aku bekerja sebagai art director periklanan di Jakarta. Tak terhitung jumlah iklan yang sudah kugarap. Lewat pekerjaaan ini aku benar-benar dituntut bekerja keras. Setiap hari aku harus berhadapan dengan deadline pembuatan iklan. Tapi itu semua kujalani. Berbekal didikan kerja keras dari bapak, aku mampu bertahan menggeluti karier ini. Kalau dihitung-hitung, sudah dua puluh tahun aku menekuni rutinitas sebagai art director bidang periklanan.

Selama dua puluh tahun aku harus bekerja di bawah tekanan yang begitu tinggi. Meski demikian, terlepas dari tuntutan kerja itu, ada begitu banyak pengalaman hidup yang kudapatkan. Bukan hanya bagaimana membuat jaringan, pekerjaan ini juga memicu ide dan kreativitasku. Maklum, sebagai penata artistik bidang periklanan, ide dan kreativitas dituntut untuk terus ada.

Aku tidak lulus kuliah. Selulus dari SMA Santo Yosef, Solo, aku kuliah di Jurusan Seni Rupa Universitas Udayana, Denpasar, tapi hanya dua tahun. Setelah itu aku pindah ke UNS Solo tahun 1988. Tapi itu pun hanya sebentar, hanya setahun kuliah di Solo. Tahun 1988, aku nekad pergi ke Jakarta mencari kerja. Dari tahun itu hingga sekarang, aku menggeluti profesi sebagai penata artistik periklanan.

Awalnya Reuni SMA

Tahun 2012, hidupku berubah. Selain melakoni profesi sebagai seorang art director, aku juga mulai merintis usaha kuliner. Usaha kuliner ini bisa dibilang saat dimana aku berhasil mengaplikasikan kreativitas seniku. Dan usaha kuliner yang kurintis belakangan diakui sebagai trend setter usaha kuliner wedangan urban di Solo.

Ceritanya, tahun itu aku mendapat undangan reuni SMA PL Santo Yosef. Sudah 25 tahun kami memang tak pernah bertemu, sampai kemudian muncul niatan dari para alumnus untuk sekadar berjumpa dan menjalin silaturahmi lagi. Ide awalnya reuni akan dilakukan di sebuah hotel ataupun restoran. Tapi aku melontarkan ide, kenapa tidak reuni di SMA PL Santo Yosef.

Banyak perdebatan kala itu, karena jika menggunakan sekolah pasti akan lebih ribet, terutama untuk mengeset ruangan. Tidak mungkin, kan, reuni hanya di aula. Aku yang sudah lama bergelut dengan dunia seni dan kreativitas mengusulkan reuni di lapangan sepakbola sekolah dengan konsep pesta kebun. Masalah muncul di pendanaan. Karena konsep seperti itu pasti akan menyedot banyak dana.

Aku berusaha meyakinkan teman-temanku bahwa dana yang dikeluarkan tak banyak, kok. Akhirnya mereka menyerahkan urusan desain eksterior kepadaku. Karena sudah terbiasa melakukan penataan artistik, tentu saja ini bukan hal yang sulit buatku, bahkan sudah menjadi santapan sehari-hariku. Untuk material desain eksterior, aku memanfaatkan barang yang sudah ada. Ranting-ranting pohon ditambah kerlap-kerlip lampu akhirnya berhasil kusulap menjadi sebuah desain menarik.

Singkat cerita, reuni selama dua hari dua malam itu berlangsung sukses. Teman-teman semasa SMA puas. Tanpa jasa EO dan desain dekorasi sendiri menjadi kredit plus. Reuni SMA inilah yang kemudian menjadi semacam trigger buatku untuk merealisasikan mimpi merintis usaha kuliner wedangan.

Kenapa wedangan? Karena salah satu kebiasaan masyarakat Solo adalah nongkrong di wedangan atau lebih dikenal dengan nama HIK alias Hidangan Istimewa Kampung. Aku memang punya cita-cita mengangkat makanan tradisional yang bercita rasa kekinian. Aku kemudian merangkai ide untuk menciptakan mimpiku itu.

Usaha kuliner wedanganku ini nantinya menggunakan bahan-bahan recycle. Memadukan kreativitas dengan barang bekas tentu saja akan memiliki nilai seni dan ekonomi yang tinggi. Prinsipku adalah Do It Your Self (Lakukan semuanya dengan gayamu).  Banyak orang yang berpikiran menciptakan usaha kuliner dengan mencari sesuatu yang enggak punya. Misal mencari materi-materi yang tidak dimiliki dan kemudian menebus dengan uang banyak. Kenapa logika itu tidak kita balik saja? Yaitu memanfaatkan apa-apa yang sudah kita punya. Karena sejatinya itu semua sudah dipersiapkan Tuhan untuk kita. Tinggal bagaimana mengelolanya.

Akhirnya, Desember 2012 usaha kuliner Kafe Tiga Tjeret milikku berdiri. Selama empat bulan aku mencari tempat yang representatif untuk mengaplikasikan ide dan kreasiku ke dalam usaha kuliner.

Banyak yang bertanya kenapa Tiga Tjeret? Jawabannya, ini tidak terlepas dengan ciri wedangan tradisional yaitu selalu ada tiga ceret di angkringannya. Karena aku ingin mengangkat wedangan lebih kekinian, aku kemudian menambahkan nama kafe. Kata lainnya aku ingin membuat wedangan ini naik kelas seperti urban café.

Desain interior Tiga Tjeret pun sesuai angan-anganku. Aku memanfaatkan botol dan kaleng bekas yang kusulap menjadi lampu gantung unik. Kursi-kursinya pun dari daur ulang kursi bekas. Aku juga menambahkan konsep semi outdoor dengan tambahan beberapa tanaman agar terlihat natural.

Bukan sekadar menjual suasana yang asyik. Melalui Tiga Tjeret, aku juga menyediakan makanan dan minuman yang tidak jauh dengan ciri khas wedangan. Aku sengaja mengangkat makanan tradisional, karena misiku adalah membuat anak-anak muda memahami ragam makanan tradisional. Jujur, aku miris melihat anak-anak zaman sekarang yang lebih mengenal dan gandrung makanan luar negeri.

Anak-anak muda ini lebih bangga saat menyantap makanan asing daripada harus makan di angkringan. Makanya aku memutar otak bagaimana caranya supaya anak-anak muda ini bisa bangga makan di wedangan. Satu-satunya cara tentu saja membuat wedangan dengan gaya kekinian, sesuai selera anak muda.   

Ada puluhan jenis wedang di Kafe Tiga Tjeret, mulai wedang serai, wedang jahe, hingga wedang teh. Karena ingin menarik anak muda, aku pun menambah ragam jenis makanannya. Ada ratusan jenis makanan di Kafe Tiga Tjeret.

Suasana nyaman bagi pengunjung benar-benar kutekankan, selain tentu saja kualitas makanannya. Tak ayal, dalam beberapa bulan, kafe Tiga Tjeret menjadi ramai. Banyak anak muda dan keluarga meluangkan waktu berwisata kuliner di Tiga Tjeret.

Hingga saat ini, Tiga Tjeret saban harinya dikunjungi  tak kurang 500 pelanggan. Sementara setiap akhir pekan bisa mencapai 1.000 pelanggan yang datang. Meski banyak pelanggan, tidak semuanya memesan makanan. Ada yang sekadar minum atau nongkrong. Tapi, itu sama sekali tidak menjadi beban, karena intinya aku pengin membuat nyaman pelanggan.

Wadah Seni Anak Muda

Dua tahun berlalu. Ide kembali menari-nari di kepalaku untuk merintis usaha kuliner baru. Selain menyediakan ruang bagi anak muda untuk sekadar nongkrong, juga menjadi tempat mereka mengembangkan ide dan kreativitas seni. Berkaca pada pengalamanku, jiwa kreativitas anak muda harus diwadahi dalam sebuah ruang. Mereka perlu menyalurkan bakat dan kreasinya dengan benar. Dan itu membutuhkan tempat.

Tahun 2014, aku merintis Playground untuk mewadahi jiwa seni anak muda. Playground kubangun di Jalan Kenanga, Badran, Solo. Aku masih menekankan prinsip Do It Your Self dalam mengonsep kafe ini. Aku juga masih menggunakan bahan-bahan recycle untuk material desain interiornya. Aku memanfaatkan barang bekas yang tidak terpakai milik teman. Konsep ini bukan berarti pengiritan.

Kembali kepada filosofi hidup yang kupegang, memanfaatkan segala hal sesuai dengan jangkauan tangan alias yang lebih dekat. Kalau memang barang-barang bekas itu bisa diberdayakan, mengapa tidak kita manfaatkan? Toh, itu semua barang yang sudah tidak terpakai. Beberapa barang bekas itu antara lain kursi dan meja yang tidak terpakai, poster-poster iklan bekas, ada juga ranting pohon yang bisa dimanfaatkan untuk memperindah desain eksteriornya. Ada pula botol bekas yang diset menjadi lampu.

Meski mengambil nafas recycle, aku berusaha membuat para pengunjung nyaman nongkrong di situ. Aku yakin, jika kita nyaman  di satu tempat, maka ketagihan akan kembali di tempat itu. Pengalamanku sebagai art director menjadi kelebihanku untuk membuat desain ruangan sesuai ide-ideku.

Di Playground, aku menyediakan ruang bagi anak muda pencinta film. Aku mempersilakan komunitas film mengagendakan nonton karya film bareng-bareng. Aku juga mempersilakan komunitas lainnya untuk menggelar workshop di sini. Di sini juga ada digital corner yang bisa dimanfaatkan pekerja seni untuk menyalurkan idenya. Ada beberapa piranti pendukung yang kusediakan, seperti komputer dengan spesifikasi desain, printer dan akses internet.

Untuk urusan makanan, Playground kurang lebih sama dengan Kafe Tiga Tjeret. Di sini juga ada jajanan makanan tradisional, sego kucing, beragam sundukan goreng, hingga es krim goreng. Harga makanan sama dengan harga di Kafe Tiga Tjeret. Aku sengaja mengeset banyak kursi dan meja di Playground. Satu hal yang kupelajari, anak muda senang dengan crowd. Beberapa dari mereka lebih senang suasana yang riuh. Yang penting bisa ngobrol santai dengan teman-temannya.

Nah, kebiasaaan inilah yang coba kutangkap. Makanya, di kafe ini aku tidak menekankan pembeli segera keluar saat makanan sudah habis. Aku membiarkan mereka untuk ngobrol, biar anak-anak muda ini merasa nyaman.

Meski bisnis wedangan urban di kota Solo kini berkembang pesat, aku justru senang karena persaingan akan membuat bisnis kuliner wedangan semakin kompetitif. Ide dan kreasi menjadi taruhannya. Aku dituntut membuat sebuah usaha kuliner yang adaptif dengan perubahan zaman.

Delapan Outlet

Setelah Playground berdiri setahun, aku menjajal unit kuliner lain. Bersama teman, aku membuat kafe yang kuberi nama Tradisi Ngopi pada Juni 2015 lalu. Konsep Tradisi Ngopi masih sama dengan konsep dua unit usaha sebelumnya, yakni menggunakan barang bekas sebagai material desain interiornya.

Kali ini aku memanfaatkan pintu-pintu sebagai meja. Sebagai dekorasi dinding, kutempel poster iklan lawas untuk memberikan kesan vintage. Namun, bukan hanya kesan vintage yang ingin kutonjolkan, tetapi suasana seperti layaknya sebuah rumah. Aku ingin pengunjung mendapatkan sensasi bertamu ke rumah temannya. Jadi, mereka bisa dengan santai dan nyaman bersandau gurau bersama teman-temannya.

Meski namanya Tradisi Ngopi, bisa dibilang ini bukan tempat bagi para pecandu kopi yang benar-benar memahami aroma dan racikan kopi. Sajian kopi di sini ala kadarnya, seperti di rumah. Soalnya, jualan Tradisi Ngopi bukan di situ, melainkan lebih pada tempat nyaman.

Untuk makanan pun aku tetap menawarkan jajan tradisional. Hanya beberapa bulan, Tradisi Ngopi ini pun ramai dikunjungi pelanggan. Lebih-lebih pada saat weekend.

Jujur, suksesnya usaha kuliner adalah anugerah bagiku. Toh, meskipun membangun usaha kuliner memang merupakan angan-anganku, aku tidak muluk-muluk dalam merintis usaha. Tantangan yang kuhadapi adalah bagaimana membuat sebuah konsep agar para pengunjung nyaman. Dan aku meyakini, karakter pengunjung berbeda-beda di tiap daerah.

Selama empat tahun menggeluti bisnis kuliner, kini aku sudah memiliki delapan outlet kuliner, masing-masing Kafe Tiga Tjeret di Solo, Kafe Tiga Tjeret di Klaten, Playground Cafe di Solo dan dua di Yogya, Tradisi Ngopi, Es Grim dan Mie Pedes. 

Melalui usahaku ini, aku benar-benar merasakan bahwa sejatinya Tuhan sudah menyediakan beragam hal agar kita bisa sukses. Tinggal kita sebagai manusia memanfaatkan dan mengolah anugerah Tuhan. Untuk berbisnis, tidak usah mencari hal-hal yang kita sendiri kita tidak punya. Kita manfaatkan pemberian Tuhan. Akal, perasaan dan jiwa kreativitas yang diberikan-Nya kita manfaatkan. Dan tidak lupa, kerja keras juga menjadi modal bagi kita untuk sukses.

Fajar Sodiq