Triana Rahmawati Terketuk Membantu Mereka yang Dianggap Tidak Ada

By nova.id, Sabtu, 5 November 2016 | 05:01 WIB
Triana Rahmawati (nova.id)

Pendanaannya sendiri seperti apa?

Kami ini, kan, bukan yayasan. Kami hanya komunitas yang peduli dengan mereka yang tersingkirkan. Dana operasional Griya Schizofren juga kami cari sendiri. Namanya bisnis sosial. Kami mendapatkannya dengan membuat kerajinan boneka, menjual jilbab yang kami pampang di www.youthproject.id.

Kami juga memisahkan dengan pendanaan PMI. Jika memang ada orang atau institusi memberikan bantuan kepada ODMK, maka itu bukan masuk ke kami, tetapi kami berikan ke Griya PMI Peduli. Toh kami ini, kan, relawan Griya PMI. 

Saya, sebagai founder, berusaha memastikan bahwa komunitas ini tetap berjalan, termasuk soal pendanaan. Oleh sebab itu selain dari dana sosial yang kami dapat, saya juga menyisihkan uang beasiswa dan memakai uang pribadi. Saya sendiri pernah mendapat beasiswa dari Dompet Dhuafa lewat Aktivis Nusantara dan juga beasiswa dari Yayasan Mutiara Nusantara

Bagaimana membagi waktu belajar dan kegiatan kemanusiaan?

Tak sulit, kok, membaginya. Lagipula ini adalah kegiatan sederhana, peduli pada mereka yang terpinggirkan. Tetapi mungkin, uniknya sasaran kepedulian kami adalah mereka yang dijauhi oleh masyarakat pada umumnya. Karena masyarakat akan menganggap kegiatan ini enggak penting, ngapain ngurusi orang gila.

Kegiatan ini justru mendukung studi saya. Saya kuliah di jurusan Sosiologi Fakultas FISIP UNS. Dalam studi saya ini juga membahas tentang patologi sosial atau penyakit sosial yang di dalamnya orang dengan gangguan kesehatan jiwa.

Saya malah menjadikan kegiatan kemanusiaan ini sebagai  bahan skripsi. Dibantu relawan Griya PMI Peduli dan Griya Schizofren, saya berhasil membuat skripsi tentang Stigma Pada Orang dengan Schizofrenia di Griya PMI Peduli Solo. Poin utama skripsi itu adalah tentang pendekatan kepada mereka,  para orang dengan gangguan jiwa, tetapi bukan dengan sudut pandang psikologi atau secara medis, tetapi lebih kepada interaksi langsung kepada para ODMK.

Kabarnya sempat diundang ke Jepang juga, ya?

Saya selesai bikin skripsi itu tahun 2015, kemudian skripsi itu saya susun kembali dan saya apply  ke jurnal internasional. Alhamdullilah ternyata di-acc. Kemudian pada Maret 2016 kemarin, Griya Schizofren diminta berbicara di Forum Psikologi Internasional di Kobe, Jepang. Ketika itu, banyak yang mengapreasiasi. Karena ada sebuah pendekatan baru yang mulai dilakukan oleh masyarakat umum, dalam arti bukan psikolog atau dokter, untuk melakukan penyembuhan orang dengan gangguan jiwa.  Saat itu yang aktif bertanya adalah delegasi Amerika Serikat, Filipina dan Meksiko.

Setelah sukses berbicara di forum internasional, kami rencananya menerbitkannya menjadi buku. Rencananya di dalam buku ini akan ada pengembangan yang menggambarkan cerita para relawan dalam mengurusi orang ganguan jiwa, kemudian ditambahi ilustrasi.

Wah, pasti banyak pengalaman unik saat mendampingi mereka ya?

Ha ha ha. Kalau pengalaman buruk, alhamdullilah tidak ada. Misalnya sampai diamuk atau dikejar-kejar. Justru kadang dari mereka kita bisa banyak belajar. Kita bisa bersyukur tentang artinya kesehatan jiwa.

Pernah ada pasien yang bisa sembuh?

Pernah, ada beberapa. Misalnya ada seorang pasien perempuan yang sembuh. Jiwanya tergoncang karena masalah asmara. Kemudian kami bantu, kami dampingi terus, dan ternyata bisa membuatnya kembali ke keluarganya.

Apa rencana Anda ke depan?

Kepenginnya Griya Schizofren tetap ada. Mau tak mau, masalah dana adalah problem utama. Tetapi yang jelas kami ini bukan sebuah yayasan yang mencari dana. Tetapi kami ingin ini sebagai sebuah gerakan kemanusiaan.

Fajar Sodiq