Triana Rahmawati Terketuk Membantu Mereka yang Dianggap Tidak Ada

By nova.id, Sabtu, 5 November 2016 | 05:01 WIB
Triana Rahmawati (nova.id)

Melalui komunitas Griya Schizofren, gadis kelahiran Palembang, 15 Juli 1992, ini peduli dan mengurusi para penderita skizofrenia. Bahkan, ia sempat diundang ke Kobe, Jepang, untuk berbicara tentang Griya Schizofren.

Bisa dijelaskan apa, sih, Griya Schizofren?

Griya Schizofren adalah komunitas anak muda yang peduli dengan masalah gangguan kesehatan jiwa. Griya ini tidak hanya membatasi untuk peduli pada orang-orang yang menderita skizofrenia, tetapi gangguan kesehatan jiwa secara keseluruhan. Schizofren ini sejatinya kepanjangan dari Sc untuk sosial, Hi  artinya Humanity, Zofren yang memiliki makna Zone Friendship.

Melalui komunitas ini, kami ingin mengampanyekan bahwa mereka yang memiliki gangguan jiwa ini membutuhkan kepedulian. Mereka sering dianggap tidak ada, tetapi secara fisik masih ada. Nah, lewat komunitas ini kami ingin anak-anak muda ini paling tidak bisa mengubah anggapan tentang mereka yang memiliki gangguan kesehatan jiwa. Mereka ini membutuhkan kita. Kita perlu untuk tidak membuat jarak dengan mereka. Kita di sini peduli dan memerhatikan mereka, bukan sebagai psikolog atau dokter, tetapi sebagai teman.

Kapan memulai merintis Griya Schizofren?

Sebenarnya Griya Schizofren ini saya rintis tanpa saya rencakan. Awalnya sama sekali saya tidak memiliki cita-cita mengurusi mereka yang memiliki gangguan jiwa. Kalaupun ditanya apa mimpi saya? Pastinya lebih ingin merintis gerakan kemanusiaan yang berhubungan dengan kegiatan anak-anak.

Tetapi takdir berkata lain. Mungkin Tuhan menunjukkan kepada saya untuk menekuni jalan ini. Griya ini berawal dari kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa dari Kemendikbud (PKM). Melalui kegiatan ini, mahasiswa diminta untuk berpikir dan bergerak memberikan sumbangsihnya pada masalah-masalah sosial.

Awalnya saya bingung mau mencari masalah sosial apa untuk dicari solusinya? Masalah tentang wanita, ekonomi pasti banyak banyak yang sudah menekuni. Nah, suatu waktu, saat persiapan buka puasa, saya ke warung untuk beli lauk. Saat itu, ada orang yang tiba-tiba azan. Lalu saya tanya pada penjual warung, apakah sudah masuk waktu salat? Penjual itu hanya menjawab, “Tidak usah didengar orang itu, soalnya orang itu gila.” Kata-kata itu ternyata membekas.

Kenapa?

Saya terngiang-ngiang terus pada orang yang dianggap gila itu. Saya merasa kasihan, mereka itu, kan ada, kenapa dianggap tidak ada? Mereka ini seperti tidak dimanusiakan. Dan tema tentang peduli mereka yang memiliki gangguan kesehatan kejiwaan ini yang kemudian menjadi tajuk dari PKM saya. Tema ini pun di-acc. Dan saya mendapat dana Rp7,5 juta untuk merealisasikan ide ini.

Langkah selanjutnya, saya mencari penderita gangguan kesehatan jiwa. Dan ternyata tidak semua rumah sakit bersedia kami ajak kerja sama. Setelah berpeluh keringat, ide kami diterima oleh Griya PMI Peduli Solo, dan kami menjadi relawan di Griya PMI untuk membantu mengurusi mereka yang memiliki masalah gangguan kesehatan kejiwaan di situ.

Lalu jenis kegiatannya seperti apa?

Kami bersama relawan-relawan memberikan terapi untuk membantu menyembuhkan kesehatan kejiwaan mereka. Salah satu cara yang paling efisien adalah mengajak mereka bernyanyi. Selain itu juga mengaji, hafalan dan terapi menggambar. Kami setiap hari Selasa, Rabu, Kamis datang ke Griya PMI untuk memberikan terapi itu.

Tak mudah mendekati mereka. Butuh kesabaran dan mental yang kuat menghadapi Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Pendekatan yang dilakukan ini menyesuaikan mood mereka. Materi musik ataupun menggambar yang kami lakukan tidak berat. Materi yang ringan-ringan saja, layaknya anak-anak.

Misalnya mengajak menyanyi lagu Balonku, Pelangi, dan Kasih Ibu. Dari setiap pertemuan itu, kami memberikan terapi selama dua jam. Hingga saat ini ada sekiutar 150 penderita gangguan jiwa yang ditampung Griya PMI Peduli Solo.

Apa lagi yang Anda lakukan?

Pada tahun-tahun awal, kami lebih pada melakukan kampanye kepada teman-teman tentang perlunya peduli pada mereka yang kesehatan jiwanya terganggu. Karena, seperti kita ketahui, masyarakat luas mengganggap mereka ini adalah penyakit.

Jika ada saudara yang gila, pasti keluarganya malu.  Oleh sebab itulah mereka memilih menitipkan saudara yang gila itu di rumah sakit jiwa. Atau kalau tidak, membawa para ODMK ini ke dukun atau paranormal. Padahal sejatinya mereka ini membutuhkan kepedulian kita. Kita perlu sabar dan peduli.

Setelah satu tahun berdiri, sekarang seperti apa perkembangannya?

Kami memiliki banyak relawan yang peduli pada ODMK. Mereka mayoritas mahasiswa UNS Solo. Kebetulan saya sendiri juga kuliah di sana. Cara perekrutannya pun informal. Lebih sering dari mulut ke mulut. Diskusi pun hanya dilakukan di warung makan biasa secara informal.

Kegiatan yang berawal dari PKM ini seharusnya hanya berdurasi satu tahun lantaran dana untuk kegiatan ini dari Kemendikbud juga cuma berjangka satu tahun. Tapi begitu selesai, saya kepikiran terus. Karena beban moral dari kegiatan ini cukup berat. Dana untuk program memang sudah habis, tetapi beban moralnya tidak habis.

Lalu bersama teman-teman saya bahu membahu tetap menjadi relawan Griya PMI Peduli Solo mengurusi orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Jadi, Griya Schizofren ini sifatnya melakukan gerakan kemanusiaan dengan membantu PMI Solo.

Hingga saat ini sudah ada berapa relawan yang bergabung?

Kalau dihitung sejak berdiri tahun 2012, sudah ada 100 relawan. Tetapi sebagian dari mereka ada yang sudah lulus kuliah. Mereka ini mayoritas merupakan mahasiswa UNS, meski ada juga yang dari UGM. Yang jelas, sampai saat ini kami sudah memiliki tiga angkatan relawan. Saat ini ada 30 mahasiwa yang aktif menjadi relawan.

Pendanaannya sendiri seperti apa?

Kami ini, kan, bukan yayasan. Kami hanya komunitas yang peduli dengan mereka yang tersingkirkan. Dana operasional Griya Schizofren juga kami cari sendiri. Namanya bisnis sosial. Kami mendapatkannya dengan membuat kerajinan boneka, menjual jilbab yang kami pampang di www.youthproject.id.

Kami juga memisahkan dengan pendanaan PMI. Jika memang ada orang atau institusi memberikan bantuan kepada ODMK, maka itu bukan masuk ke kami, tetapi kami berikan ke Griya PMI Peduli. Toh kami ini, kan, relawan Griya PMI. 

Saya, sebagai founder, berusaha memastikan bahwa komunitas ini tetap berjalan, termasuk soal pendanaan. Oleh sebab itu selain dari dana sosial yang kami dapat, saya juga menyisihkan uang beasiswa dan memakai uang pribadi. Saya sendiri pernah mendapat beasiswa dari Dompet Dhuafa lewat Aktivis Nusantara dan juga beasiswa dari Yayasan Mutiara Nusantara

Bagaimana membagi waktu belajar dan kegiatan kemanusiaan?

Tak sulit, kok, membaginya. Lagipula ini adalah kegiatan sederhana, peduli pada mereka yang terpinggirkan. Tetapi mungkin, uniknya sasaran kepedulian kami adalah mereka yang dijauhi oleh masyarakat pada umumnya. Karena masyarakat akan menganggap kegiatan ini enggak penting, ngapain ngurusi orang gila.

Kegiatan ini justru mendukung studi saya. Saya kuliah di jurusan Sosiologi Fakultas FISIP UNS. Dalam studi saya ini juga membahas tentang patologi sosial atau penyakit sosial yang di dalamnya orang dengan gangguan kesehatan jiwa.

Saya malah menjadikan kegiatan kemanusiaan ini sebagai  bahan skripsi. Dibantu relawan Griya PMI Peduli dan Griya Schizofren, saya berhasil membuat skripsi tentang Stigma Pada Orang dengan Schizofrenia di Griya PMI Peduli Solo. Poin utama skripsi itu adalah tentang pendekatan kepada mereka,  para orang dengan gangguan jiwa, tetapi bukan dengan sudut pandang psikologi atau secara medis, tetapi lebih kepada interaksi langsung kepada para ODMK.

Kabarnya sempat diundang ke Jepang juga, ya?

Saya selesai bikin skripsi itu tahun 2015, kemudian skripsi itu saya susun kembali dan saya apply  ke jurnal internasional. Alhamdullilah ternyata di-acc. Kemudian pada Maret 2016 kemarin, Griya Schizofren diminta berbicara di Forum Psikologi Internasional di Kobe, Jepang. Ketika itu, banyak yang mengapreasiasi. Karena ada sebuah pendekatan baru yang mulai dilakukan oleh masyarakat umum, dalam arti bukan psikolog atau dokter, untuk melakukan penyembuhan orang dengan gangguan jiwa.  Saat itu yang aktif bertanya adalah delegasi Amerika Serikat, Filipina dan Meksiko.

Setelah sukses berbicara di forum internasional, kami rencananya menerbitkannya menjadi buku. Rencananya di dalam buku ini akan ada pengembangan yang menggambarkan cerita para relawan dalam mengurusi orang ganguan jiwa, kemudian ditambahi ilustrasi.

Wah, pasti banyak pengalaman unik saat mendampingi mereka ya?

Ha ha ha. Kalau pengalaman buruk, alhamdullilah tidak ada. Misalnya sampai diamuk atau dikejar-kejar. Justru kadang dari mereka kita bisa banyak belajar. Kita bisa bersyukur tentang artinya kesehatan jiwa.

Pernah ada pasien yang bisa sembuh?

Pernah, ada beberapa. Misalnya ada seorang pasien perempuan yang sembuh. Jiwanya tergoncang karena masalah asmara. Kemudian kami bantu, kami dampingi terus, dan ternyata bisa membuatnya kembali ke keluarganya.

Apa rencana Anda ke depan?

Kepenginnya Griya Schizofren tetap ada. Mau tak mau, masalah dana adalah problem utama. Tetapi yang jelas kami ini bukan sebuah yayasan yang mencari dana. Tetapi kami ingin ini sebagai sebuah gerakan kemanusiaan.

Fajar Sodiq