Banyak teori menyebut ada beberapa usia pernikahan yang rentan dengan pertengkaran. Sebenarnya, konflik antara suami-istri bisa menyehatkan pernikahan mengingat kehidupan rumah tangga begitu dinamis.
Terdapat banyak perubahan pada setiap fase sebelum dan setelah Anda dan pasangan memasuki gerbang pernikahan. Ada yang berhasil mengatasinya dengan bahagia, namun tak sedikit yang gagal dan berakhir dengan perceraian.
Mengulas lebih dalam soal hal tersebut, psikolog Rosalina Verauli. M.Psi mengungkapkan, ada tiga masa di mana pasangan rentan mengalami pertengkaran yaitu jelang pernikahan, pasca menikah, dan pasca melahirkan.
Baca: Bertengkar dengan Suami? Jangan Jadikan Seks Sebagai Solusi
"Kadang orang lupa bahwa menikah itu yang disiapkan setelah pernikahannya. Mereka mau seperti apa dan sebagainya. Kebanyakan mereka berpusat pada resepsi. Padahal resepsi melibatkan banyak orang, sedangkan pernikahan hanya melibatkan dua orang," kata psikolog yang akrab disapa Vera ini.
Usia pernikahan yang juga tak kalah rentan adalah pasca menikah. Sebab, pada saat ini pasangan diuji dengan berbagai cobaan. Maklum saja, keduanya masih sama-sama membutuhkan adaptasi dengan pekerjaan terbaru.
"Awal pernikahan menjadi waktu yang rentan. Karena setelah menikah tiba-tiba ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Nah, ini kadang-kadang orang ngerasa sudah tidak cocok lagi."
Padahal, itu bukan masalah cocok dan tidak. Namun, bagaimana suami-istri akhirnya menemukan pola penyesuaian mereka atas perbedaan yang ada.
"Makanya itu, ada pernikahan yang berumur panjang 20-30 tahun. Penyebabnya karena mereka lebih matang dalam sebuah hubungan, dan hubungan cintanya relatif lebih stabil. Jadi memang beda nanti polanya," tambahnya.
Baca: 10 Hal Pantang Diucapkan Saat Bertengkar
Menurut Vera, setelah melewati konflik pasca menikah, viasanya konflik kembali timbul setelah memiliki anak pertama. Di sini hubungan suami-istri kembali diuji. Biasanya, saat anak lahir, segala pola berubah. Termasuk soal peran.
"Ketiga adalah fase awal saat anak lahir. Jadi ketika bertambah anggota baru dalam keluarga, ternyata enggak semua orang siap punya anak dengan peran tambahan sebagai orangtua. Nah, ketika salah satu dari pasangan tidak siap, artinya peran yang satu akan diambil alih orang lain," katanya.
Itu sebabnya tak sedikit dari pasangan merasa ada ketimpangan. Seperti istri lebih banyak berperan mengasuh anak, sedangkan suami memandangnya berbeda.
"Ketika punya anak, ada konflik yang disadari salah satu soal peran yang enggak seimbang. Salah satu lebih banyak ngurus anak, tapi yang ini justru merasa enggak diurus," ucapnya.
"Jadi konflik memang selalu ada, konflik itu awal dari penyesuaian," tambah Vera seraya mengingatkan agar setiap pasangan lebih bijak menghadapinya ketimbang mementingkan ego masing-masing.