Alasan Mengapa Hipertensi Memicu Stroke dan Serangan Jantung

By Ade Ryani HMK, Kamis, 4 Mei 2017 | 07:30 WIB
Alasan Mengapa Hipertensi Memicu Stroke dan Serangan Jantung (Ade Ryani HMK)

Hipertensi atau tekanan darah adalah kondisi kronis di mana tekanan darah pada dinding arteri meningkat.

Satu-satunya cara untuk mengetahui dan mengontrol tekanan darah kita adalah dengan mengukur tekanan darah.

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, penderita hipertensi yang berusia di atas 18 tahun mencapai 25,8 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.

Dari angka tersebut, penderita perempuan lebih banyak 6 persen dibanding penderita pria.

(Baca: Hipertensi Sebabkan Kematian Mendadak, Berapa Tekanan Darah yang Normal?)

Menurut Dr. Siska Suridanda Danny, SpJP., FIHA dari Yayasan Jantung Indonesia menjelaskan bahwa hipertensi bisa menyerang siapapun.

“Hipertensi menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah, jika hipertensi tak terkendali maka akan memicu stroke dan serangan jantung karena terjadi kerusakan pada pembuluh darah di otak dan jantung,” jelasnya.

Hipertensi juga bisa berdampak pada organ tubuh lainnya, yaitu:

1. Mata, bisa menyebabkan retinopati atau kebutaan.

2. Otak, bisa menyebabkan stroke dan demensia.

Stroke bisa menyebabkan gangguan sistem motorik dan sistem sensorik yang menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran.

3. Jantung, bisa memicu penyakit jantung koroner dan gagal jantung.

Bila tekanan darah tinggi, maka kerja jantung akan semakin meningkat dan bisa memicu serangan jantung.

4. Ginjal, bisa menyebabkan gagal ginjal.

Ginjal merupakan organ yang berfungsi menyaring darah. Apabila tekanan darah naik, maka kerja ginjal akan semakin berat.

Pembuluh darah, bisa menyebabkan iskemia tungkai kronik.

(Baca: Ngeri, Hipertensi dan Gagal Jantung Ternyata Dipengaruhi Kebiasaan Tak Sehat Ini Sejak Kecil)

“Kerusakan organ yang disebabkan oleh hipertensi tergantung dari dua hal, yaitu tingginya peningkatan tekanan darah dan lamanya kondisi tekanan darah yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati,” tutup Dr. Siska.