Kopi merupakan minuman khas yang dikenal oleh seluruh golongan masyarakat dan telah menjadi bagian dari budaya warga Gayo, bahkan saat ini menjadi gaya hidup serta berperan penting sebagai penghubung komunikasi.
Kondisi tersebut menjadi berkah tersendiri untuk Rahmah, seorang ibu rumah tangga yang dengan tekun menggeluti usaha Kopi Gayo.
Rahmah tak pernah melupakan kodratnya sebagai seorang istri sekaligus ibu.
Berbekal niat untuk mendukung ekonomi keluarga serta menjaga tradisi, Rahmah menekuni jual beli Kopi Gayo skala rumahan, dan saat ini telah berhasil menjadi eksportir Kopi Gayo.
Kesuksesan tersebut tentunya tidak terlepas dari dukungan suami, Eddy Supriyanto (58) yang dengan setia berbagi peran dalam menjalankan rumah tangga dan usahanya.
Rahmah memulai usaha jual beli kopi sejak 20 tahun lalu saat pernikahannya dengan sang suami, menginjak tahun kelima. Ia memilih kopi karena sudah turun-temurun.
Dari delapan bersaudara, usaha ini jatuh ke tangannya. “Saya hanya lulus SMA, jadi enggak tahu hal lain selain berkebun dan jual beli kopi,” katanya.
Semua ia pelajari secara otodidak. Ia melihat apa yang dilakukan orang tua.
“Ketika saya menikah, orang tua memberi saya kebun kopi seluas satu hektar. Kebun itulah yang kemudian saya olah sebagai sumber perekonomian keluarga” tutur Rahmah yang lantas mendirikan kios jual beli kopi kecil-kecilan di depan rumah.
Ia mengawali usahanya sebagai agen/pedagang pengepul yang kemudian berkembang menjadi usaha perdagangan biji kopi, dan terus mengalami peningkatan hingga sekarang jadi seorang eksportir.
Sebagai modal awal, Rahmah meminjam uang Rp 4 juta dari Bank BRI melalui fasilitas KUR. “Uang itu saya putar untuk mengembangkan usaha jual beli kopi,” ucap Rahmah yang sudah hampir 12 tahun mengekspor biji kopi.
“Unit Kerja BRI yang tersebar di pelosok kaki gunung seperti di daerah saya sangat membantu dalam keperluan transaksi dengan para pelanggan,“ tambahnya.
Awal mula mengembangkan usaha masih di seputaran Kota Takengon. Namun di tahun 2002, Rahmah mencoba menjual hingga ke Kota Medan. Bermodal nekat dan sedikit contoh kopi, ia pun menemui pedagang kopi di Medan.
Kebetulan, salah seorang pengusaha tertarik. Ternyata, harga yang ditawarkan lebih tinggi dibanding harga jual di Takengon.
“Kaget saya, biasanya Rp18 ribu per kilo, di Medan ditawar Rp26 ribu. Setelah sepakat, kami kirim 4 ton biji kopi ke sana. Begitu sampai di Medan pagi, sore harinya saya ditransfer. Melihat jumlahnya, saya ketagihan,” lanjut Rahmah.
Dikejar Pembeli
Melalui Medan, kopi asal Gayo ini kemudian dikirim ke luar negeri. Rahmah penasaran dan mencari informasi tentang seluk-beluk ekspor.
Ternyata, melakukan ekspor bukanlah perkara mudah. Selain harus mengurus beragam perizinan, juga harus pandai berbahasa Inggris.
“Saya hanya lulusan SMA, bagaimana bisa cari pembeli kalau enggak bisa berbahasa Inggris? Akibatnya, surat izin ekspor yang sudah di tangan kadaluwarsa, sementara saya belum bisa menembus pasar ekspor.”
Rahmah kemudian meminta bantuan seorang teman SMA nya yang sudah menikah dan tinggal di Belanda untuk mencarikan pembeli kopi di Belanda. “Dapat satu pembeli. Saya lalu urus lagi perizinan dan sebagainya,” ujar Rahmah.
Untuk lebih memaksimalkan potensi yang ada di daerahnya serta untuk memberdayakan para petani, Rahmah kemudian mendirikan koperasi dengan 850 anggota dari 20 desa.
Koperasi ini dinamakan UD Ketiara, karena saat didirikan bertepatan dengan kelahiran anak ketiganya, Tiara Bambang Ginanti, yang kini telah berusia 18 tahun.
Ada cerita lucu di balik penamaan koperasi Ketiara. “Ketika itu kami berpikir, kalau pakai nama “Tiara” dalam bahasa Gayo berarti “tidak ada”. Jadilah ditambah “Ke” sehingga menjadi Ketiara, yang dalam bahasa Gayo berarti ‘biar ada,’” tambahnya.
Oleh pembeli Belanda, Rahmah diajarkan cara mengemas kopi yang baik. Tahun 2012, Rahmah mulai mengekspor kopi ke Belanda sebanyak 6 ton. “Ternyata kopi saya digemari di sana,” ucap Rahmah yang sudah mengekspor kopi ke Belanda, Amerika, Korea, Jerman, Inggris, Taiwan, Jepang, Arab Saudi, dan Kanada.
Tahun itu pula ia membuat website untuk promosi. “Saya sendiri enggak pernah tahu apa itu website, email, bahkan sampai sekarang enggak bisa pakai komputer. Pernah kursus belajar bahasa Inggris sampai yang mengajar nyerah. Ya sudahlah, akhirnya pakai Google translate. Ha ha.”
Sejak itu, usaha Rahmah berkembang. Banyak pihak yang memuji kopinya. Bahkan pembeli datang langsung untuk mencoba. “Saya enggak lagi mencari dan mengejar pembeli. Saya yang dikejar mereka sekarang,” ujar Rahmah.
Urusan ekspor pun tak ada kendala. Malah, karena Rahmah tidak bisa berbahasa Inggris, ada pembeli yang belajar bahasa Indonesia agar komunikasi menjadi lancar.
Keluarga Nomor Satu
Untuk bisa bertahan dalam bisnis, Rahmah memberikan beberapa tips antara lain harus menjaga kualitas, jujur, dan mengenali keinginan pembeli. Kopi Gayo memang memiliki keunggulan tersendiri, salah satunya punya banyak rasa.
Tahun 2014 saat diundang lomba cupping (mencoba rasa kopi) di Seattle, AS, contoh kopi yang ia bawa mendapat banyak pujian. “Saya makin percaya diri,” ucap Rahmah yang beberapa kali diundang untuk cupping di berbagai negara seperti AS, Jerman dan Taiwan.
Tahun 2017, Rahmah kembali mendirikan koperasi yang ia beri nama Queen Ketiara. “Sejak Januari sampai April 2017 Queen Ketiara sudah mengekspor 20 kontainer kopi. Mutu Kopi Queen Ketiara adalah specialty, lebih tinggi kualitasnya,” tambah Rahmah.
Uniknya, anggota Queen Ketiara 90% adalah perempuan. “Saya memang ingin merangkul perempuan. Di Gayo ini banyak perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga, saya ingin mereka bangkit,” ungkap Rahmah yang mencatat kenaikan omzet dari tahun ke tahun, omzet usaha dari bulan Januari sampai April 2017 ini sudah menyentuh angka Rp35 miliar.
Tak ada yang menyangka, setelah merasakan pahit getir membangun usaha, kini Ramah telah mereguk manisnya keberhasilan.
“Maut, rezeki dan jodoh itu ada di tangan Allah. Motivasi terbesar saya adalah untuk keluarga, agar anak-anak tidak bodoh seperti Mamaknya,” kata Rahmah yang tetap meluangkan waktu bagi keluarganya. “Sesibuk apapun, saya tetap punya waktu untuk keluarga,” katanya.