Menurut dr. Edi Setiawan Tehuteru, banyak masyarakat Indonesia masih merasa takut memasukkan anaknya ke dalam penanganan paliatif.
Hal tersebut disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang tentang asuhan paliatif.
"Tidak selamanya paliatif itu mereka yang sudah di fase akhir dari kehidupannya. Seperti contoh anak kanker stadium satu, kita tahu kanker stadium satu kemungkinan sembuhnya berdasarkan statistik sekitar 80% tapi apa peran paliatif di sini? Peran paliatif adalah bahwa kanker itu kalau tidak diobati mungkin membuat pasien minder dan lain sebagainya," jelas dr. Edi Setiawan Tehuteru.
(Baca juga: Wah, Ternyata Minyak Kelapa Ampuh Hilangkan Selulit, Coba Yuk!)
Didukung data dari World Health Organization (WHO) terdapat hambatan lain mengenai asuhan paliatif di antaranya hambatan budaya dan sosial misalnya kepercayaan tentang nyeri dan kematian, kurangnya keterampilan dan kapasitas tenaga kesehatan, dan regulasi yang terlalu ketat terkait obat nyeri.
Padahal orang-orang yang membutuhkan asuhan paliatif adalah orang-orang yang memiliki penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit paru kronis, HIV/AIDS, dan diabetes yang membutuhkan asuhan paliatif dengan segera.
Dr. Edi Setiawan Tehuteru menjelaskan pula, sebenarnya asuhan paliatif tidak hanya mempersiapkan seorang pasien menjelang fase akhir kehidupannya namun manajemen gejala atau nyeri.
(Baca juga: Launching Produk Shampoo, Wardah Gandeng Mesty Ariotedjo Sebagai Brand Ambassador Baru)
Manajemen gejala atau nyeri dilakukan dengan pemberian obat opioid, salah satunya morfin.
Obat opioid sendiri terdiri dari hydrocodone, fentanyl, oxycodone, hydromorphone.
Dosis pemberian morfin di mulai dari angka 0 - 10.
(Baca juga: Ingin Berat Badan Cepat Turun? Cukup Minum Air Putih dengan Cara Berikut)