NOVA.id- Cuaca ekstrem belakangan ini membuat Jakarta dilanda banjir.
Bahkan bukan hanya karena intensitas hujan yang terbilang cukup tinggi, banjir juga ada yang disebabkan karena banjir rob.
Melansir Kompas.com, media ternama The New York Times pada Kamis (21/12) memberikan perhatiannya pada ibu kota Indonesia ini.
Media tersebut membeberkan bagaimana kota yang menjadi serbuan kaum urban itu menghadapi ancaman tenggelam oleh perubahan iklim.
(Baca juga : Seberapa Rutin Olahraga Intens Harusnya Dilakukan? Begini Penjelasannya)
Dijelaskan perubahan iklim ini, level Laut Jawa meningkat dan cuaca di Jakarta menjadi lebih ekstrem.
Pada awal bulan ini terjadi badai yang tidak normal secara singkat mengubah jalanan Jakarta menjadi sungai.
Irvan Pulungan yang merupakan salah satu pengamat cuaca dan juga penasihat gubernur, mengkhawatirkan temperatur bisa naik beberapa derajat Celcius.
Selain itu level laut meningkat sekitar 91,4 cm di abad selanjutnya.
(Baca juga : Sambut Tahun Baru 2018, Ini Dia Resolusi Ivan Gunawan Hingga Kabar Mundur Dirinya dari Dunia Hiburan)
Bukan hanya pemanasan global yang menjadi penyebab satu-satunya dalam sejaran panjang banjir di kota metropolitan ini.
Masalahnya Jakarta memang sedang tenggelam.
Kota yang berpenduduk lebih dari 30 juta orang ini, tenggelam lebih cepat dibandingkan kota besar lainnya di dunia, sangat cepat, bahkan perubahan iklim yang menyebabkan laut naik.
Sehingga sungai terkadang mengalir ke hulu, hujan menyapu pemukiman, dan bangunan perlahan lenyap seperti ditelan bumi.
(Baca juga : Sudah Melakukan Perawatan Namun Kulit Masih Rusak? Mungkin Ini Dia Faktornya, Coba Hindari 7 Hal Berikut!)
Faktor utamanya ialah penduduk Jakarta menggali sumur-sumur ilegal sehingga tetes demi tetes mengaliri lapisan bawah tanah, tempat dimana kota itu berdiri.
Hal ini seperti layaknya menggemboskan bantalan di bawahnya.
Ada sekitar 40 persen wilayah di Jakarta saat ini berada di bawah permukaan laut.
Daerah pesisir seperti Muara Baru juga telah tenggelam sekitar 4,26 meter dalam beberapa tahun terakhir ini.
(Baca juga : Sedang Hamil Muda, Ini Dia Momen "Ngidam" Vicky Shu yang Bikin Kaget Warganet)
Dikatakan oleh pakar hidrologi jika kota ini hanya memiliki satu dekade atau 10 tahun untuk menghentikan karamnya.
Jika tidak maka bagian utara Jakarta dengan jutaan penduduk akan berada di bawah air.
"Hidup di sini, kami tidak memiliki tempat lain untuk dikunjungi," kata Yudi dan Titi, penduduk Jakarta yang setiap Minggu pergi ke pusat kota dari Jakarta Barat untuk menghabiskan beberapa menit berjalan kaki.
Terdapat sumur ilegal yang tak terhitung jumlahnya milik penduduk dan pengembang di Jakarta.
(Baca juga : Romantis! Ini yang Dilakukan Raffi Ahmad untuk Sang Istri di Momen Hari Ibu)
Ini karena air pipa yang mengalirkan air ke lebih dari setengah penduduk Jakarta harganya cukup tinggi.
Lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air (akuifer) tidak dibenahi, meski hujan lebat dan luapan air sungai terus menimpa kawasan itu, karena lebih dari 97 persen wilayah Jakarta sudah tertutupi lapisan beton dan aspal.
Memang selalu ada ketegangan antara kebutuhan mendesak dengan rencana jangka panjang. Masalah Jakarta sama seperti kisah kota besar yang terancam tenggelam lainnya, Mexico City, Meksiko.
(Baca juga : Ingin Momen Natalmu Spesial? Yuk, Rasakan Foto dengan 6 Pohon Natal Kece Ini, Nomor 1 Pernah Masuk MURI, lho!)
Kedua kota itu menghadapi masalah akuifer yang kering menyebabkan bebatuan dan sedimen membuat Jakarta bak sebuah kue dadar.
Untuk mencegah karamnya, Jakarta harus menghentikan penggalian sumur, yang berarti pemerintah mesti menyediakan pasokan air bersih bagi penduduk, membersihkan saluran air, dan membenahi saluran pembuangan.
Aksi lainnya yang perlu dilakukan seperti pembersihan kanal dan sungai yang tercemar pabrik dengan bahan-bahan kimia.
(Baca juga : Menutup Akhir Tahun 2017, Sederet Artis Ini Memilih Liburan ke Luar Negeri Sebagai Tujuan Wisata)
Janjaap Brinkman, ahli hidrologi yang telah mempelajari Jakarta selama puluhan tahun untuk lembaga riset di bidang air dan bawah permukaan air yang berpusat di Delft dan Ultrecht, Belanda, mengatakan proyek ambisius Giant Sea Wall atau tanggul raksasa dibangun tinggi untuk menahan naiknya air laut.
Namun dengan tingkat penurunan tanah seperti saat ini, tanggul raksasa bisa berada di bawah laut pada 2030.
"Jika tanggul ini rusak, tidak ada yang menahan Laut Jawa," katanya.
(Baca juga : Mujarab, Rutin Konsumsi Minyak Zaitun, Ternyata Ampuh Mencegah Deretan Penyakit Ini)
Pengamat cuaca setempat, Ardhasena Sopalheluwakan, berpendapat pembangunan tanggul raksasa tidak diperlukan, melainkan membawa Jakarta Utara ke alam dengan membangun hutan mangrove dan peremajaan waduk, termasuk beberapa yang dibangun pada Jakarta tempo dulu. (*)
(Kompas.com / Veronika Yasinta)