Masih Banyak yang Menganggap Remeh Penyakit TBC, Inilah Faktanya yang Harus Kita Pahami

By , Selasa, 16 Januari 2018 | 11:30 WIB
Jangan Sepelekan Penyakit TBC. Yuk Kenali dan Pahami Lebih Dalam! (Nova)

NOVA.id - Pada masyarakat kata TBC atau Tuberculosis sudah tidak asing lagi, bahkan di sekitar kita sudah banyak yang menderita TBC.

Penyakit TBC ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis dan membuat penderitanya mengalami batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh.

Bahkan, dapat menyebabkan batuk berdarah dan terparah menyerang otak.

(Baca juga:Benarkah Minum Produk Teh Pelangsing Efektif dan Aman? Simak Penjelasannya)

Sayangnya, masih banyak yang menganggap remeh penyakit ini, sehingga seiring berjalannya waktu penderita TBC ini makin bertambah bukan berkurang.

Terlebih lagi, Indonesia menjadi negara penderita TBC terbanyak kedua di dunia setelah India.

Dengan total penderita TBC di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 1.020.000 jiwa.

(Baca juga: Netizen Puji Millen Cyrus dengan Bergaya Seperti Ini)

Hal ini disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang menyepelekan penyakit ini.

Sementara itu, banyak penderita TBC yang melakukan pengobatan tetapi tidak tuntas.

Atau bahkan penderita TBC yang tidak mau berobat mengakibatkan penyakit ini semakin menjalar.

(Baca juga: Museum Bahari Terbakar, Begini Respon Kepala Museum Mengenai Koleksi yang Tersimpan, Hangus Semua?)

Pengobatan yang dilakukan untuk penderita TBC adalah minum obat khusus berbentuk puyer selama 6 bulan.

Dalam prosesnya ini dilakukan rutin sesuai dosis tanpa terlewat sekalipun.

Ketika memasuki bulan kedua pengobatan, kondisi pasien sudah mulai membaik.

(Baca juga: Derita Gadis Belia yang Malang, Ditinggal Kedua Orang Tua, Kisah Hidupnya Menyayat Hati)

“Seperti seorang anak yang menderita TBC pada bulan kedua batuk berdarah dan tidak mau makan setelah minum obat menjadi mau makan. Akhirnya obat diberhentikan,” kata Dr. Erlina Burhan, M. Sc, SpP(K), dokter spesialis paru-paru di Rumah Sakit Pesahabatan Jakarta ketika memberikan contoh.

Seperti yang dijelaskan, pada fase ini bakteri TBC justru bermutasi akibatnya pasein menjadi kebal dengan obat.

Jika sudah kebal dengan obat, proses penyembuhan melalui jarum suntik serta memakan waktu lebih lama yaitu 9 bulan.

(Baca juga: Isyana Sarasvati Dibilang Mirip Jo Ji A, Ah Masa Sih?)

Keadaan yang membaik membuat pasien merasa sudah sembuh sehingga tidak mengonsumsi obat lagi.

Justru hal ini membuat bakteri TBC dapat menjalar semakin parah karena pada bulan ini bakteri TBC hanya tidur, belum benar-benar mati.

Dan sewaktu-waktu TBC itu dapat muncul kembali dan mengganggu organ tubuh.

(Baca juga: Uban Bikin Pusing? Itu Hanya Mitos! Simak Penjelasan Ahlinya Berikut)

Selain merasa sudah sembuh, rasa bosan yang dialami penderita ketika minum obat pun menjadi penyebab lainnya.

“Dalam waktu 4 bulan saya rutin minum obat, ketika 4 bulan ke atas saya mulai jenuh dengan rasa obat yang tawar dan membuat saya putus dari obat itu,” ujar Ulwiyah, mantan penderita TBC.  

Akibat banyaknya stigma masyarakat mengenai penyakit TBC, munculah berbagai sifat dari penderita TBC.

(Baca juga: Gara-Gara Hal Ini Petugas Damkar Sempat Kesusahan Padamkan Api di Museum Bahari)

Yang terparah adalah penderita TBC yang tidak mau diketahui siapapun bahwa dia terkena penyakit TBC itu.

Bahkan dirinya sendiri mengingkari bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis berada di tubuhnya.

“Ada pasien yang jika kantornya tahu dia mengidap TBC maka akan diberi surat resign. Dan TBC membuatnya kehilangan pekerjaan,” ucap Dr. Erlina Burhan, M. Sc, SpP(K), Dokter spesialis paru-paru di Rumah Sakit Pesahabatan Jakarta.

Hal ini membuat penderita merasa di diskriminasi dan penyakit TBCnya akan semakin parah karena tidak kunjung diobati.

(Baca juga: Ini Ditangkap Usai Lakukan Penipuan dengan Modus Seks 'Online)

Oleh karena itu, masyarakat harus terbuka  dan lebih mengerti mengenai  penyakit TBC ini.

Walaupun penyakit ini menular tapi selama penderita menjaga kesehatan sekitar dengan selalu memakai masker dan menjalani pegobatan.

Maka penyakit ini dapat dihilangkan, terlebih lagi Indonesia memiliki tujuan Indonesia Zero TBC pada 2050. (*)

Rifani Indrianti