Paji Nyili-Nyili, Tradisi Jalan Malam Bersama Obor di Tidore

By Healza Kurnia, Jumat, 22 Juni 2018 | 14:45 WIB
Sejak tengah malam, pemuda dari berbagai desa di Tidore, Maluku Utara, bergantian mengarak panjipanji kebesaran Tidore. (Djuli Pamungkas)

NOVA.id - Jika biasanya perayaan Hari Jadi atau ulang tahun sebuah daerah dirayakan dengan upacara bendera, potong tumpeng atau karnaval di siang hari, lain halnya dengan perayaan Hari Jadi Tidore (HJT) ke-910.

Dimulai pada tengah malam, pemuda dari berbagai desa di Tidore, Maluku Utara, bergantian mengarak panji-panji kebesaran Tidore. Prosesinya akan dimulai di empat titik, yaitu untuk Kecamatan Tidore Timur dimulai dari Kelurahan Mafututu; Kecamatan Tidore di Kelurahan Gurabunga; Kecamatan Tidore Selatan di Desa Mare; dan Kecamatan Tidore Utara di Kelurahan Mareku.

Arak-arakan ini disebut dengan upacara adat Paji Nyili-nyili.

Secara harfiah, paji berarti bendera dan nyili berarti daerah.

Baca juga: Dengan Teknologi, Kini Ilmuwan Bisa Ciptakan Kornea Mata Baru untuk Manusia

Paji Nyili-nyili merupakan simbol semangat sejarah perjuangan serta prosesi napak tilas 220 tahun perjuangan Sultan Syaidul Djihad Muhammad Al Mab’us Amiruddin Syah, Kaicil Paparangan, Jou Barakati Sultan Nuku atau Sultan Nuku dan seluruh pasukannya pada tanggal 12 April 1797 silam.

Pemuda-pemuda terbaik Tidore di setiap kampungnya akan menjadi pengarak paji, mereka akan menyusuri rute Sultan Nuku saat berjuang bersama pasukannya.

Bak lari estafet, secara bertahap mereka memberikanbendera dari satu kelompok kampung pada kelompok lainnya.

Pengarak bendera silih berganti saat perjalanan Paji Nyili-nyili menuju Keraton Kesultanan Tidore.

Tradisi ini pun selalu berlangsung semarak.

Sepuluh panji-panji kebesaran yang melambangkan berbagai macam identitas elemen kehidupan bermasyarakat Tidore ini silih berganti tangan, keluar masuk desa hingga sampai tepat pagi harinya di lapangan keraton.

Arak-arakan ini dilakukan pemuda dewasa dengan memakai baju setelan putih-putih, lengkap dengan kawalan prajurit Kapita.

Baca juga: Sering Keluar Darah dari Hidung dan Mulut, Ternyata Bocah SD Ini Alami Penyakit Mematikan

Sebagai pembeda, prajurit Kapita akan mengenakan setelan baju hitam agar menjadi penanda prajurit pengawalan bagi pengarak bendera.

Momen puncak perjalanan panji-panji Tidore ini adalah saat perayaan hari jadi di Lapangan Keraton Kesultanan Tidore.

Secara simbolis, acara itu mempertegas identitas bangsa sebagai negara maritim.

Paji Nyili-nyili akan dibawa oleh pasukan, lalu diantar ke masing-masing batas kampung dan diterima oleh kelompok pemuda.

Selama proses pergantian, para pengarak paji selalu diiringi dengan tabuhan rebana dan lantunan salawat nabi sebagai ungkapan rasa syukur atas usainya perjuangan leluhur mereka.

Para pembawa panji akan berjalan kaki dan hanya diterangi obor selama perjalanan.

Lampu-lampu pemukiman yang akan dilintasi Paji Nyili-nyili hampir seluruhnya dipadamkan.

Digantikan sementara oleh obor kecil sederhana yang dipasang di depan rumah-rumah warga.

Sebagai penerangan selama perjalanan, pengarak Paji Nyili-Nyili mengandalkan obor. (Djuli Pamungkas)

Cahaya obor berbahan bakar minyak tanah membuat suasana temaram, seakan mengajak warga bernostalgia merasakan bagaimana Sultan Nuku memimpin pasukannya menembus pekatnya malam di Bumi Rempah, Tidore.

Namun, seakan kontras dengan pulau seberang—Ternate—yang gemerlap dan dimanjakan lampu-lampu di kaki Gunung Gamalama.

Baca juga: Megah dan Bersejarah, Inilah Istana yang akan Menjadi Lokasi Pembaptisan Anak Ketiga Pangeran William

Pengarak Paji Nyili-nyili berjalan dalam gelapnya malam, membelah sunyinya kampung di tengah lelap tidurnya warga Tidore.

Tak peduli rasa lelah, para pemuda terus berjalan.

Sesekali prajurit Kapita akan berlari mengawal para pengarak bendera memastikan keamanan dan kelengkapan personelnya.

Tak jarang, pasukan Kapita sebagai pengawal pengarak akan menyabetkan pedang ke arah udara sebagai simbol perlawanan.

Bahkan salah satu atraksi yang kerap dinantikan warga adalah saat prajurit Kapita berlari sambil menyeret pedang menyentuh aspal jalan hingga mengeluarkan bunga api.

Momen inilah yang selalu menuai riuh tepuk tangan dan decak kagum warga yang menonton di pinggir jalan.(*)

(Djuli Pamungkas)