NOVA.id – Sebagai orang tua, tentu kita akan memberikan segala yang terbaik bagi buah hati, termasuk urusan akademis.
Salah satu caranya adalah dengan mendaftarkan anak kita mengikuti berbagai kegiatan baik ekskul, les bimbinhan belajar, dan lainnya.
Semua ini dilakukan supaya anak mereka lebih berprestasi dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk sukses di kemudian hari.
(Baca juga: Diliputi Suasana Mistis, Begini Desain Interior Menara Saidah Milik Suami Inneke Koesherawati)
Meski begitu, ada baiknya kita pertimbangkan masak-masak sebelum mendaftarkan anak ikut banyak kegiatan tambahan di luar waktu sekolahnya.
Ketika anak terlalu disibukkan dengan aktivitas di luar rumah, ia akan semakin jauh dengan keluarganya sehingga dapat berdampak buruk pada keharmonisan keluarga.
Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepulang sekolah memang banyak manfaatnya.
(Baca juga: Ingin Hadir dalam Fanmeeting Lisa Blackpink, Young Lex Dikecam 'Blink')
Selain menambah wawasan dan mengasah minat serta bakatnya, beragam kegiatan ini bisa membantunya memperluas lingkup pertemanan dengan orang-orang baru.
Meski begitu, jangan sampai anak malah merasa sangat kewalahan dengan aktivitasnya yang segudang sehingga menomorsekiankan keluarganya.
Sharon Wheeler selaku peneliti studi yang dipublikasikan dalam Taylor and Francis Journal Sport, Education, and Society menjelaskan bahwa risiko kebanyakan ikut ekskul akan lebih berat daripada manfaatnya jika terlalu dipaksakan.
(Baca juga: Apa Kata Zodiak Hari Ini? Pisces, Ini adalah Waktu Keberuntunganmu)
Penelitian tersebut dilakukan dengan cara mewawancarai 50 keluarga dari 12 sekolah dasar yang ada di Inggris bagian utara dan barat.
Sekitar 88 persen dari seluruh anak mengikuti kegiatan di luar jam sekolah hingga 4-5 kali dalam seminggu, sementara 58 persennya mengikuti lebih dari satu ekskul yang mulai pada malam hari.
Wheeler beserta timnya menemukan bahwa anak-anak usia SD yang mengikuti ekskul dan kegiatan tambahan di luar sekolah hingga 4-5 kali dalam seminggu, bahkan hingga sampai larut malam, menjadi mudah kelelahan dan tidak fokus, sehingga jarang menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga.
(Baca juga: Demi Pangeran George, Ini yang Kate Middleton Lakukan Sehari Setelah Melahirkan)
Suniya Luthar, seorang profesor psikologi di Columbia, berpedapat bahwa jumlah kegiatan ekskul yang diikuti anak bukanlah satu-satunya sumber masalah.
Masalahnya mulai muncul ketika orang tua mengawasi seluruh aktivitas anak secara berlebihan dan menempatkan ekspektasi yang amat tinggi bagi mereka.
Tekanan berat dan ekspektasi tinggi agar selalu sukses dalam bidang akademis dan non-akademis berpotensi membahayakan perkembangan dan kesejahteraan anak.
(Baca juga: Jadi Cover Girl 25 Tahun Lalu, Wajah Krisdayanti Mirip Amora?)
Lama-lama, ini juga menjauhkan anak dari interaksi dengan anggota keluarga terdekatnya karena merasa diteror dan diperlakukan bagai robot.
Dr. Luthar dan Polly Young-Eisendrath, dua orang psikolog klinis sekaligus penulis buku The Self-Esteem Trap, setuju bahwa terlalu banyak mengharuskan si kecil melakukan berbagai kegiatan sepulang sekolah dapat memberi masalah pada kehidupannya.
Pasalnya, saat usia anak belum menginjak 11-12 tahun, anak sedang belajar untuk mulai mengembangkan dirinya.
(Baca juga: Sempat Usir Peserta Audisi, Ternyata Begini 5 Gaya Iis Dahlia di Awal Karirnya)
Nah, mengikuti kegiatan yang terlalu banyak hingga di luar batas kemampuannya dapat berisiko untuk mengganggu perkembangan alami anak.
Ibarat sebuah perangkat elektronik yang terlalu dibebani pekerjaan yang berat, lambat laun perangkat itu akan rusak.
Begitu pula dengan kondisi si kecil.
Jadi, apa yang harus orang tua lakukan?
(Baca juga: Coba Cek Lagi, Benarkah Dapur Kita Sudah Aman dari Sumber Penyakit?)
Sebenarnya sah-sah saja mendaftarkan anak ikut berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler untuk mengasahnya menjadi pribadi yang lebih unggul.
Yang lebih perlu ortu perhatikan adalah di mana batas wajarnya hingga tidak sampai merugikan kesehatan anak, juga hubungannya dengan anggota keluarga lainnya.
Jangan sampai anak terlalu sibuk dan kerepotan menghadiri les sana-sini sampai tidak lagi mau peduli dengan kondisi keluarganya sendiri.
(Baca juga: Genap 3 Bulan, Yuk Intip Deretan Foto Pangeran Louis Sejak Lahir)
Sebelum memutuskan les ini-itu untuk anak, baiknya selaraskan dulu keinginan kita dengan apa yang anak inginkan atau minati.
Jika anak tidak berminat untuk les piano, tapi kita menganggapnya penting, jangan paksakan sehingga bisa menjadi bibit percekcokan di kemudian hari.
Dilansir dari laman The New York Times, Dr. Michael Thompson, seorang psikolog klinis dan penulis buku The Pressured Child, menyarankan kita sebagai orang tua untuk ikuti saja kemauan dan minat anak agar ia tidak merasa terpaksa dan terbebani ketika menjalaninya.
(Baca juga: Viral Video dan Foto Siswa Berkelahi Karena Hal Sepele, Salah Satunya Bunuh Diri)
Selain itu, usakan juga untuk selalu meluangkan dan menjadwalkan waktu berkumpul keluarga yang berkualitas, setidaknya 2-3 hari sekali.
Jangan sampai, si kecil merasa jauh dengan keluarganya akibat terlalu sibuk dengan kegiatan yang ia tekuni.
Kita bisa melakukannya di luar rumah dengan pergi ke taman bermain ataupun di rumah dengan hanya sekadar menonton film, memasak bersama, hingga curhat dengan satu sama lain.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Anak Terlalu Sibuk Les Malah Tidak Harmonis Dengan Keluarga”